Contohnya adalah IKEA. Mengutip dari Reuters, pada tahun 2018 lalu, sudah 60 persen produknya menggunakan material yang diperbarui.
Perusahaan pakaian Amerika Serikat (AS), Patagonia, pada Desember 2021 lalu, mendonasikan 10 juta dollar AS untuk melindungi lingkungan. Dua perusahaan ini menjadi contoh bahwa dunia bisnis telah fokus dalam permasalahan-permasalahan sustainability.
Menurut Lourenco, et al (2014) mengatakan bahwa reputasi perusahaan yang berkomitmen pada sustainability merupakan sumber daya tidak berwujud yang sangat berharga dan dapat berpotensi meningkatkan nilai arus kas.
Selain itu, mereka menambahkan bahwa laba bersih perusahaan dengan reputasi keberlanjutan yang baik memiliki penilaian pasar yang lebih tinggi.
Artinya, dengan situasi saat ini, jika perusahaan membangun reputasi sebagai perusahaan yang bergerak di bidang sustainability mulai daari sekarang, itu akan bisa membantu meningkatkan arus kas mereka.
Tren bisnis dengan pendekatan SDGs merupakan hal yang harus kita dukung. Sebagai salah satu kontributor perekonomian dunia, perusahaan memiliki peran penting untuk menciptakan ekosistem yang sustainable.
Model bisnis harus diubah dan kita sedang menyaksikan gelombang bisnis yang mulai berprinsip sustain. Tetapi, ada beberapa tantangan agar perusahaan dapat lebih luwes dalam membuat kebijakan.
Ada temuan menarik dari WSJ Pro, sebuah layanan berlangganan konten premium yang dimiliki Dow Jones, yang risetnya dipublikasi tahun 2022.
Mereka melakukan penelitian terhadap bagaimana praktik sustainability leadership di ranah perusahaan.
Hasilnya cukup menarik. Dari 300 perusahaan secara global, WSJ Pro berhasil mengidentifikasi sebanyak 44 jabatan berbeda untuk peran eksekutif yang sama yang bertanggung jawab atas fungsi keberlanjutan perusahaan.
Artinya, masih belum ada kesepakatan tentang praktik pelaksanaan kebijakan perusahaan.
Selain itu, dalam garis koordinasi, masih belum terdapat kesepakatan siapa yang bertanggung jawab.
Misalnya, di perusahaan yang lebih besar, 38 persen para pemimpin keberlanjutan melapor pada CEO, diikuti oleh Chief Operating Officer (COO) dengan 8 persen, Chief Financial Officer (CFO) dan penasihat umum dengan 6 persen.
Berarti, dari garis koordinasi, masih belum ada satu jalur yang disepakati di antara perusahaan.
Dalam sudut pandang lain, perusahaan masih belum menentukan satu sosok yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan kebijakan sustainable.
Lembaga think-tank IBM, IBM Institute for Business Value (IBV) tahun 2022 melakukan riset yang berhasil menjaring 3.000 CEO di 28 negara dan 40 industri.
Dari hasil riset tersebut, mereka berhasil mengidentifikasi dua tantangan yang sangat penting. Pertama, 51 persen CEO menganggap sustainability menjadi tantangan teratas.
Angka tersebut naik 19 persen dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 32 persen, dengan permintaan tindakan yang lebih besar datang dari anggota Dewan dan investor.
Kedua, 57 persen CEO menyebutkan bahwa ketidakpastiaan soal return of investment dan manfaat ekonomi sebagai tantangan terbesar.
Sustainability menjadi tantangan sebenarnya merupakan hal yang bisa diduga. Dengan keadaan Bumi yang sedemikian rupa membuat para pengusaha harus mengubah model bisnis dan operasinya agar sesuai dengan tuntutan global.
Membutuhkan proses yang tidak singkat agar semua perusahaan bisa mendapatkan formula yang tepat, sehingga menghasilkan profit dan tetap berkontribusi di saat yang bersamaan.
Ada juga hal lain yang menarik. Terkait usaha mencapai tujuan SDGs, riset dari Global Citizen dan Russel Reynolds Associates tahun 2015 menyoroti bahwa pemimpin yang menduduki posisi CEO lebih lama cenderung lebih peduli dengan tujuan keberlanjutan perusahaan.
Hal ini karena pemimpin yang baru saja menduduki posisi sebagai CEO akan lebih peduli dengan target jangka pendek untuk membuktikan kapabilitasnya. Konsekuensinya, mereka kurang peduli dengan target jangka panjang.
Terlepas dari itu, masyarakat global menaruh harapan yang besar kepada entitas yang memiliki power lebih untuk membuat Bumi menjadi lebih baik.
Survei dari Edelman Trust Barometer tahun 2022 menemukan bahwa 61 persen masyarakat global menaruh harapan pada sektor bisnis untuk mewujudkan SDGs.
Peringkat kedua ada LSM dengan 59 persen, lalu pemerintah 52 persen, dan media 50 persen. Artinya, masyarakat akan melihat bagaimana kiprah sektor bisnis dalam menciptakan ekosistem yang holistik.
Apabila melihat dari skala global, tentu kita tidak bisa mengesampingkan bahwa tantangannya cukup rumit.
Perusahaan mengalami persoalan hierarkis, return of investment, dan sustainability sendiri menjadi bukti bahwa mewujudkan SDGs masih merupakan jalan panjang.
Terlebih, perusahaan adalah entitas yang dipercaya oleh masyarakat. Oleh karena itu, harapannya adalah mereka mampu membenahi masalah struktural dengan lebih memfokuskan pada bagaimana meraih 3P (people, planet, profit).
Apabila melihat dari kacamata yang lebih kecil, misalkan negara, trennya agak berbeda. Banyak yang telah dilakukan untuk mewujudkan SDGs.
Kita ambil contoh negara kita, Indonesia. Peran Indonesia di dalam upaya menyelamatkan Bumi ditunggu oleh banyak negara.
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato, mengatakan bahwa Indonesia menjadi pioneer mekanisme pembiayaan blended finance yang berkolaborasi dengan para filantropis, perusahaan multilateral global, dan yayasan untuk mewujudkan SDGs.
Ini menjadi langkah baik dalam menunjukkan peran Indonesia di kancah global.
Indonesia juga telah menunjukkan komitmen mengadopsi dan mengimplementasikan standar keberlanjutan pada saat Pertemuan Kelompok Kerja Perdagangan, Industri, dan Investasi (TIIWG) G20.
Banyak langkah yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk meraih tujuan yang tertuang dalam SDGs.
Kamar Dagang Indonesia (KADIN) dan Thunderbird School of Global Management Arizona State University meluncurkan inisiatif 100 juta SDM berkualitas.
Thunderbird akan menyediakan kelas bertaraf internasional di bidang manajemen dan kewirausahaan. Dari target 100 juta, 70 persen perempuan akan terjaring dalam inisiatif ini.
Salah satu start-up unicorn bidang energi terbarukan di Indonesia, MMS Group Indonesia, tergabung menjadi anggota UN Global Compact.
Perguruan tinggi di Indonesia juga semakin gencar dalam membantu mewujudkan SDGs. Universitas Airlangga mendirikan SDGs Center, dan menjadi satu dari 26 SDGs Center yang ada di Indonesia.