Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

BUMDes dan Pembangunan Ekonomi Pedesaan

Kompas.com - 10/06/2022, 18:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAMA masa awal transformasi ekonomi China setelah Mao, warisan institusi ekonomi pedesaan era Great Leap Forward dan Revolusi Kebudayaan terbukti sangat berperan dalam memuluskan pendekatan dual track system (gradual liberalization) yang diperkenalkan Deng Xiaoping via Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC), Hu Yaobang, dan berlanjut kepada Zhao Ziyang (dirumahkan pascatragedi Tianamen Square karena dituduh pro gerakan mahasiswa).

Institusi ekonomi pedesaan berupa people commune dan brigade enterprises warisan Mao berhasil beralih menjadi Township and Village Enterprises (TVEs) di awal tahun 1980-an, lalu pelan-pelan diprivatisasi di era 1990-an, setelah proses transisi kepemilikan saham kolektif, lalu berubah menjadi joint share atau joint stock, dan berakhir dengan privatisasi sepanjang tahun 1990-an.

Baca juga: BUMDes Binaan PGN Ini Berhasil Cuan Rp 250 Juta Selama Pandemi

Keberadaan TVEs sangat krusial dalam proses liberalisasi harga, industrialisasi pedesaan (rural industrialization), dan privatisasi kepemilikan usaha di China selama masa awal transformasi, selain proses privatisasi terukur Sebagian Badan Usaha Milik Negara (SOEs).

Peran fundamental TVEs adalah memberikan landasan kokoh pada proses industrialisasi pedesaan di China dengan peningkatan signifikan kontribusi TVEs pada PDB (Fei 1998; Naughton 2006; Weitzman, Xu 1994, Cheng Ji 2017, dll). Hasilnya terbukti sangat luar biasa, bahkan di luar dugaan Partai Komunis China (Cheng Ji, 2017).

Tahun 1996, jelang privatisasi total, TVEs tercatat berhasil berkontribusi pada PDB (produk domestik bruto) nasional China sekitar 40 persen, dibanding tahun 1978 yang hanya sekitar 20 persenan karena dominasi kontribusi perusahaan-perusahaan negara yang jumlahnya ratusan ribu saat itu.

Di era Great Leap Forward dan Revolusi Kebudayaan, people commune dan brigade diwajibkan berproduksi berdasarkan kuota yang ditentukan pemerintah dengan harga yang juga telah ditetapkan. Saat beralih menjadi TVEs, kuota masih tetap dibebankan tetapi dengan keleluasaan untuk berproduksi melebihi kuota untuk dijual berdasarkan harga pasar (dual track pricing system).

Kebijakan liberalisasi harga secara bertahap ini ternyata memotivasi TVEs-TVEs untuk menjadi lebih produktif karena ada peluang untuk mendapatkan profit dari kelebihan produksi yang mereka hasilkan. Seiring berjalan waktu, pelan-pelan sebagian besar TVEs diprivatisasi (sekitar 80 persen) dari total jumlah TVEs yang lebih dari 1,2 jutaan.

Sisanya dibeli secara total oleh pemerintahan lokal alias menjadi BUMD-BUMD. Sementara soal pembiayaan, pemerintah pusat dan daerah mendirikan Rural Credit Cooperatives (RCCs) yang berbagi peran dengan bank-bank milik pemerintahan daerah.

Hasilnya, justru setelah diperkanlakn dual track system China berhasil memproduksi bahan kebutuhan pokok secara masif, saat di era Mao justru masyarakat desa mengalami kelaparan akut.

Dari sisi latar belakang, TVEs berbeda dengan gerakan Saemaul Undong di Korea, yang dijadikan sebagai ujung tombak program-program pembangunan pedesaan nasionalistik ala rezim otoriter Park Chung Hee, mulai dari pembangunan jalan desa, jembatan, irigasi, yang kemudian berakhir menjadi UKM-UKM kreatif Korea Selatan sampai hari ini.

Namun, baik TVEs maupun Saemaul Undong, terbukti bisa menjadi institusi ekonomi pedesaan yang menopang cepatnya proses industrialisasi di China dan Korea Selatan. Dan tak bisa dipungkiri, keduanya menjadi salah satu ciri khas dari suksesnya industrialisasi pedesaan di negara-negara Asia Timur, selain konglomerasi-konglomerasi seperti Chaebol di Korea atau Keiretsu di Jepang.

Bagaimana di Indonesia?

Di masa Orde Baru, rezim Soeharto sempat dipengaruhi oleh model pembangunan Asia Timur itu, yang disebut Robert Wade dengan istilah "developmental state model." Bahkan Soeharto sempat dianugerahi gelar Bapak Pembangunan karena mengadopsi model tersebut.

Keberhasilan swasembada beras Orde Baru ditopang oleh Koperasi Unit Desa (KUD) dan kelompok-kelompok tani, yang menjadi proksi ekonomi dari program-program pembangunan desa Orde Baru.

Sangat disayangkan institusi-institusi itu satu per satu tumbang. Konon, KUD-KUD yang tersisa hanya menjadi institusi ekonomi penerima bantuan pemerintah. Jika tak ada bantuan, KUD-KUD tersebut mati suri alias sangat tidak produktif dan tidak profit oriented.

Beberapa tahun belakangan, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai memasukan program pembangunan institusi ekonomi pedesaan ini ke dalam program pemerintahan nasional, dengan memunculkan istilah Badan Udaha Milik Desa (BUMDes). Pemerintah memberikan peluang bagi pemerintahan desa untuk memanfaatkan sebagian dana desa yang telah terlebih dahulu dikonstitusionalisasikan untuk membangun Badan Usaha Milik Desa, tapi gaungnya nyaris tak terdengar.

Ada satu dua yang muncul di ruang publik, terutama berupa BUMDes Wisata di beberapa desa wisata, tapi sangat tidak signifikan. Banyak persoalan yang belum selesai dengan BUMDes yang harus segera dibenahi pemerintah pusat, agar geliat ekonominya bisa segera dirasakan, terutama terkait dengan peningkatan taraf hidup masyarakat pedesaan.

Pertama soal bentuk hukum BUMDes. Sampai hari ini, BUMDes masih diposisikan sebagai unit usaha desa yang langsung berada di bawah kekuasaan dan preferensi politik kepala desa. Kondisi ini membuat BUMDes justru berada di bawah pengaruh politik kepala desa dan aparat-aparat desa lainya, bahkan berpeluang menimbulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tingkat desa di dalam penentuan alokasi anggaran dan alokasi sumber daya manusia (SDM).

Ke depan, tentu pemerintah perlu memberikan landasan konstitusional pada status hukum BUMDes ini yang dipisahkan secara tegas dari dinamika politik sehari-hari di tingkat desa. Dengan kata lain, penentuan status hukum badan usaha desa ini akan memberi kepastian pada bentuk hubungan yang profesional antara BUMDes dengan kekuasaan desa. Sehingga BUMDes bisa menjadi badan usaha yang benar-benar didasari semangat enterprenurial dan berorientasikan keuntungan dengan ditopang manajemen dan tata kelola bisnis yang bisa dipertanggungjawabkan secara transparan.

Selanjutnya adalah soal kejelasan kepemilikan saham dan garis pertanggungjawaban. Setelah status hukum jelas, akan ada formasi kepemilikan saham dan bagaimana pembagian hasilnya. Jika berpatokan pada sumber dan model pencairan dana yang ada hari ini, otomatis saham BUMDes akhirnya dimiliki masyarakat desa via dewan perwakilan desa.

Baca juga: BUMDes di Bolali Keberatan Bayar Rp 30 Juta Per Tahun ke PT KAI, Gus Halim Janji Carikan Solusi

 

Namun saya menduga formasi tersebut tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan, berapapun dana yang diturunkan untuk BUMDes, mengingat karakteristik masyarakat desa yang belum terlalu terpapar semangat kewirausahaan dan belum terbiasa dengan budaya korporasi.

Akan sangat baik jika pemerintah pusat menambah aturan yang berkaitan dengan dana pendamping dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun pemerintah daerah yang dikonversikan ke dalam kepemilikan saham di BUMDes, sehingga keduanya bisa mengalokasikan SDM di kursi komisaris atau dewan pengawas di setiap BUMDes.

Dengan kata lain, dana pendamping bukan dalam bentuk anggaran untuk pemerintah desa, tapi justru dalam bentuk investasi. Untuk menghindari pengaruh politik dari pemerintah yang lebih tinggi di daerah, penyertaan modal daerah di BUMDes sebaiknya melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pula. Bahkan akan sangat produktif jika daerah mendirikan sendiri semacam local capital venture (misalnya BUMDes Capital Venture) milik pemerintah daerah yang khusus dimaksudkan untuk membesarkan BUMDes-BUMDes, ketimbang dalam bentuk kredit (seperti RCCs di China).

Dengan begitu, local capital venture ini akan sangat termotivasi untuk fokus memajukan BUMDes, membesarkan bisnisnya (sampai menjadi bankable), lalu meningkatkan valuasi sahamnya di dalam BUMDes, sebelum diprivatisasi jika memang ujungnya ingin diprivatisasi. Misalnya formasi kepemilikan sahamnya bisa 50 persen milik desa, 30 persen milik pemerintah kabupaten, dan 20 persen milik pemerintah provinsi.

Terakhir, soal buruknya sumber daya manusia BUMDes yang berimbas pada buruknya tata kelola dan rendahnya peluang untuk memonetisasi BUMDes. Pembentukan SDM BUMDes yang sesuai dengan tuntutan bisnis perlu diletakan pada konteks bisnis, dengan asumsi penyertaan modal terjadi setelah SDM dan manajemen BUMDes dianggap siap berproduksi secara komersial.

Artinya, pemerintah pusat, melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementerian Koperasi/UMKM, bersama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, perlu bekerja sama secara intens merumuskan program pelatihan dan pembinaan SDM BUMDes, dengan menyeleksi desa-desa yang sudah menyiapkan BUMDes setengah jadi untuk ditindaklanjuti dengan pelatihan bisnis dan manajemen yang sesuai dengan tuntutan dunia usaha, mulai dari materi perencanaan bisnis, kepemimpinan, design product, marketing, managemen, digitalisasi bisnis BUMDes.

Jika Jokowi benar-benar serius dengan visi membangun Indonesia dari pinggiran, maka pengembangan BUMDes semestinya jadi ujung tombak, bukan pembangunan ibu kota baru. Bukan begitu, Pak Jokowi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com