Kadang teman saya dari umat Nasrani menyebut, tugas Sinterklas sudah diambil alih oleh para caleg mengingat “kebaikan” instan yang ditebarnya.
Begitu hasil pemilu diumumkan resmi dan caleg yang sudah “habis-habisan” mengeluarkan kocek kalah, ada pula yang kecewa.
Sumbangan yang pernah diberikan diminta kembali, proposal sumbangan yang pernah disponsori digugat serta marah dan menyesal dengan dukungan semu dari rakyat.
Rakyat pun semakin cerdas, isi amplop diterima tetapi amplop kosongnya dicampakkan. Serangan fajar diambil tetapi pilihan tetap sesukanya. Bajak membajak suara sudah galib di ajang pesta demokrasi kita.
Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto saat menghadiri penandatanganan nota kesepatakatan antara Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN) di Jakarta, Sabtu (4/5/2022), yang menyebut dibentuknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) adalah untuk kepentingan rakyat, begitu menggelitik kesadaran kita.
Betapa tidak, jargon “kepentingan rakyat” selalu dibajak oleh elite-elite partai untuk menarasikan tujuan partai dalam mencapai tujuan untuk meraih kekuasaan.
Kata “rakyat” hanyalah menjadi sekadar label untuk “menarik” minat pemilik suara kelak di pemilu.
Pembentukan KIB sendiri dimaksudkan elite-elite partai Golkar, PAN dan PPP adalah untuk menghindari polarisasi yang tajam di masyarakat jika kontestan Pilpres hanyalah dua pasang calon presiden dan wakil presiden seperti di Pilpres 2009 dan 2014 silam.
Kehadiran KIB memang dimaksudkan untuk membuka peluang munculnya calon pasangan “ketiga” sebagai penyeimbang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bisa mencalonkan pasangan sendiri atau kemungkinan berkoalisi dengan Gerindra serta Partai Kebangkitan Bangsa atau peluang lain munculnya poros ke dua dari Demokrat, Partai Keadilan Sejatera (PKS) dengan PKB jika batal bergabung dengan PDIP-Gerindra.
Jika dilihat tendensinya, Nasdem bisa bergabung dengan KIB atau bergabung dengan PKB dan Gerindra.
Memang betulkah KIB dan koalisi-koalisi lain dibentuk untuk memeperjuangkan rakyat? Jawaban ini akan bertolak belakang jika yang jawaban rakyat dengan elite partai disandingkan.
Rakyat tidak melihat urgensinya partai-partai berkoalisi, sementara aspek kesejahteraan masih terabaikan.
Rakyat masih butuh jaminan minyak goreng tidak menjadi barang “unik” dan harganya tetap terjangkau.
Rakyat masih galau jika hutang negara terus melambung tinggi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat banyak.
Elite-elite partai terus berkilah, koalisi adalah keniscayaan untuk menyediakan alternatif calon-calon pemimpin bangsa, sementara rakyat sudah pintar dan tahu bahwa calon-calon pemimpin yang ada di antaranya hanyalah pemimpin-pemimpin “salon” yang besar karena karbitan nama orang tua.