JAKARTA, KOMPAS.com - 121 tahun lalu atau tepatnya pada 6 Juni 1901, Presiden pertama Indonesia Soekarno dilahirkan.
Tidak ada yang memperkirakan jika Soekarno yang mempunyai nama kecil Koesno Sosrodihardjo bakal menjadi Presiden pertama Indonesia. Dia merupakan anak dari Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.
Juni tak sekadar menjadi bulan kelahiran Soekarno, tetapi juga menjadi bulan lahirnya Pancasila hingga menjadi bulan dia wafat.
Ada cerita di balik penggantian nama Koesno menjadi Soekarno. Menurut Harian Kompas, 1 Juni 2001, pada usia 5 tahun Soekarno terkena berbagai penyakit berturut-turut yakni tifus, disentri, dan malaria. Kedua orang tuanya lantas memutuskan mengganti nama sang anak menjadi Soekarno.
Baca juga: Hasto Sebut Kerangka Pemikiran Geopolitik Soekarno adalah Pancasila
Nama Karno (Karna) diambil dari tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya.
Selain itu, menurut keyakinan sang ibu, Soekarno sebagai orang yang dilahirkan di saat matahari terbit maka nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu.
"Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, Nak, bahwa engkau ini putra dari Sang Fajar," kata Ibu Soekarno seperti diberitakan Harian Kompas pada 6 Juni 1991.
Soekarno disebut putra Sang Fajar lantaran kelahirannya tepat pada pukul 05.30 di saat fajar.
Harapan sang ibu menjadi kenyataan karena di kemudian hari Soekarno menjadi tokoh pemimpin Indonesia. Dia yang membacakan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia.
Baca juga: Di Balik Cerita Pergantian Nama Kusno Jadi Soekarno
Salah satu pesan yang selalu disampaikan Soekarno hingga menjelang wafatnya adalah persatuan bangsa.
Dalam sambutannya di sidang kabinet 15 Januari 1966 di Istana Merdeka, Soekarno menegaskan persatuan bangsa adalah suatu keniscayaan. Dia meminta masyarakat tidak saling bertikai terkait perbedaan pandangan.
"Bangsa harus menjadi bangsa yang kuat dan besar. Oleh karena itulah belakangan ini selalu saya menangis, bahkan donder-donder, marah-marah. He, bangsa Indonesia, jangan gontok-gontokan!" kata Bung Karno dalam pidato sambutan.
Bung Karno juga mengutip pendapat sejumlah tokoh tentang pentingnya persatuan bangsa. Dia menyitir ucapan Arnold Toynbee, yang menyatakan, "A great civilization never goes down unless it destroy itself from within", atau "Sebuah peradaban besar tidak pernah runtuh kecuali dihancurkan oleh bangsanya sendiri".
Selain itu Soekarno juga mengutip pernyataan Abraham Lincoln, "A nation divided against itself, cannot stand" atau "Sebuah negara yang terpecah tidak akan sanggup berdiri tegak."
"Mana ada bangsa yang bisa bertahan jika terpecah belah di dalamnya," kata Bung Karno.
Baca juga: Bukan di Blitar, Presiden Soekarno Lahir di Jalan Peneleh Surabaya
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.