Maka dari itu, Bambang menilai menempatkan tes kesehatan dan antropometri di pemeriksaan kesehatan kedua sangat merugikan peserta seleksi, karena seharusnya dilakukan paling awal.
"Bagaimana seseorang yang sudah menunjukkan kemampuan akademik, psikologi dan jasmaninya, tiba-tiba tidak lolos karena hal yang di awal tidak diketahuinya dan itu dianggap vital," tukasnya.
Oleh karena itu, dalam kasus di Polda Metro Jaya ini, Bambang menyebut wajar kalau Fahri Fadilah protes, meningat dirinya sudah dinyatakan lolos, tetapi kemudian dibatalkan.
Baca juga: KPK Amankan 9 Orang Terkait Tangkap Tangan Eks Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti
Bambang merasa kejadian ini merugikan mental dan psikologis Fahri. Belum lagi kerugian material, karena mengikuti tes kepolisian membutuhkan biaya-biaya pribadi dan waktu yang tidak sedikit.
"Kesalahan pada panitia, tetapi ditimpakan pada peserta seleksi tersebut. Ini jelas tidak fair," ucap Bambang.
Sementara itu, Bambang mengungkapkan, tidak semua bidang kepolisian membutuhkan polisi yang bebas buta warna parsial.
Menurut dia, buta warna parsial sangat berbeda dengan buta warna total atau monokromasi yang hanya bisa melihat hitam putih atau beberapa warna saja.
"Tetapi sebagai prasyarat dalam seleksi memang secara umum harus dilakukan untuk menyeleksi yang terbaik. Persoalan di bidang apa nanti mereka ditugaskan itu persoalan berikutnya," imbuhnya.
Untuk diketahui, video berisi curahan hati Fahri Fadilah Nur Rizki yang mengaku gagal jadi polisi, viral di media sosial pada Minggu (29/5/2022).