Dalam menyikapi Putusan Mahkamah Agung No. 3555 K/PDT/2018, misalnya. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menilai pemerintah lalai melakukan langkah-langkah antisipasi guna mencegah hutan dan lahan dilalap api.
Sayangnya, putusan ini justru dilawan dengan upaya hukum, yakni Peninjauan Kembali (PK). Pemerintah merasa sudah menjalankan vonis. Klaim ini diungkapkan tanpa menyertakan bukti yang memadai.
Setelah itu, pemberitaan terkait putusan melawan hukum terhadap Jokowi dan jajarannya tersebut lenyap bak ditelan bumi, seiring dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dahsyat hanya beberapa minggu setelahnya.
Perkara serupa juga terjadi terhadap Putusan Nomor 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst terkait pencemaran udara di wilayah Ibu Kota.
Alih-alih menjalankan perintah pengadilan, Presiden Jokowi dan tiga menterinya, yakni Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri memilih mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Alasannya, mereka merasa sudah menjalankan semua yang diperintahkan oleh majelis hakim terkait pengendalian polusi udara Jakarta.
Keengganan Pemerintah menjalankan putusan pengadilan menyebabkan eksistensi pengadilan dalam mencegah terjadinya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan tentu patut dipertanyakan.
Sebab terhadap putusannya, terutama yang menjadikan Pemerintah sebagai pihak tergugat, pengadilan justru tidak memiliki daya paksa.
Pada akhirnya putusan berakhir tanpa memberikan dampak apapun terhadap perlindungan lingkungan hidup.
Istilah Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan) dikenal pertama kali dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung pada bagian penjelasan umum butir 4 pada Alinea ke-4.
Pada 2002, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dalam “Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002” mengungkapkan bentuk-bentuk penghinaan terhadap pengadilan, salah satunya adalah tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders).
Bila merujuk pada hal tersebut, tindakan Pemerintah yang tidak menjalankan putusan pengadilan tentu tergolong sebagai comtempt of court sebagaimana yang dimaksud.
Sayangnya, meski tindakannya tergolong sebagai contempt of court, sampai saat ini belum ada yang dapat “menghukum” Pemerintah atas ketidaktaatannya terhadap putusan pengadilan.
Sukarnya menjalankan putusan pengadilan oleh Pemerintah juga tak lepas dari ketiadaan peraturan yang dapat memaksa pemerintah untuk menjalankannya, sekalipun putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.
Sejauh ini, memang sangat sulit mengeksekusi putusan perdata yang melibatkan pemerintah menjadi tergugat.