Selain itu, Agus menilai pola pikir birokrat dan lembaga pemerintah di Indonesia sudah terlanjur korup. Kebijakan remunerasi atau menaikkan gaji menurut Agus juga tidak mempan untuk membendung perilaku korup.
Baca juga: Berkaca dari Kasus Bupati Bogor, Predikat WTP Tak Jamin Kepala Daerah Bersih
"Gaji mau sampai Rp 10 juta tetap aja kurang. Buat anak, buat istri. Apalagi auditor melihat celah kayak gitu, ditambah mau Lebaran kan, siapa yang enggak mau? Karena pola pikir institusi kita ini sudah terlalu korup. Sedikit-sedikit mengeluh anggaran kurang. Jadi ketika kesempatan itu ada ya sudah," ucap Agus.
Rumit
Di sisi lain, Agus menilai praktik korupsi di pemerintah pusat hingga daerah salah satunya dipicu oleh rumitnya sistem dan mahalnya ongkos politik di Indonesia.
Di satu sisi membuka ruang bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik memang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Namun, hal itu juga membuat persaingan di antara kader partai politik semakin sengit.
"Misalnya ada bupati yang dapat permohonan minta bantuan dari ormas atau parpol, kan dia harus mikir, kan buat yang begitu-begitu enggak ada dianggarkan di APBD," ucap Agus.
"Makanya dia putar otak supaya enggak ketahuan, kan barang kaya gitu enggak jelas di laporan keuangan. Kalau enggak dikasih bisa dikerjain nanti," lanjut Agus.
Secara terpisah, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai kasus dugaan suap yang membelit Bupati Bogor Ade Yasin adalah contoh kegagalan dalam proses kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik.
Baca juga: FITRA Ungkap Alasan Opini WTP dari BPK Diburu Para Kepala Daerah
"Korupsi kepala daerah yang terjadi berulangkali harus membuat parpol membenahi diri. Ini menunjukkan bahwa parpol gagal dalam melakukan fungsi rekrutmen politik dan kaderisasi anggota," kata Egi dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (28/4/2022).
Egi juga mengingatkan soal kerugian dalam hal politik dinasti seperti yang terjadi di Kabupaten Bogor. Sebab Ade merupakan adik dari mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin yang juga terpidana dua kasus korupsi, yakni suap tukar menukar lahan dengan PT Bukit Jonggol Asri dan gratifikasi.
Menurut Egi masyarakat harus menyadari sifat dari politik dinasti adalah untuk berkuasa dan melayani diri sendiri.
"Sehingga orientasi untuk kepentingan publik dipinggirkan. Dampaknya praktik-praktik koruptif akan marak terjadi," ujar Egi.
Baca juga: Bantah Suap Auditor BPK, Ade Yasin Sebut Pemberian Uang adalah Inisiatif Stafnya
Di sisi lain, menurut Egi praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah diakibatkan oleh pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Hal itu, kata Egi, membuat kepala daerah terdorong melakukan praktik koruptif agar bisa digunakan untuk memberi mahar pada parpol, jual beli suara, kampanye dalam pilkada ataupun balas jasa ketika ia terpilih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.