JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P Deddy Yevri Sitorus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan untuk melakukan ekspor Crude Palm Oil (CPO) beserta minyak goreng.
Deddy menilai, kebijakan itu pada ujungnya akan merugikan para petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng.
"Tetapi ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga, dan ini merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng," kata Deddy dalam keterangannya, Sabtu (23/4/2022).
Baca juga: Jokowi: Pemerintah Larang Ekspor Minyak Goreng Mulai 28 April
Ia mengingatkan pemerintah bahwa sebanyak 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil.
Menurut dia, pelaku industri sawit bakal terdampak atas kebijakan moratorium ini.
Saat reses, Deddy juga mengaku mendapat masukan dari masyarakat di daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Utara.
Mereka sebagian adalah petani kecil kelapa sawit.
"Buah sawit itu tidak bisa disimpan lama, begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan," jelas Deddy.
Baca juga: Kejagung: Indrasari Jadi Tersangka karena Paling Berwenang dalam Pengajuan Ekspor Minyak Goreng
Pemilik pabrik kelapa sawit, lanjut dia, juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama.
Sebab, kualitasnya akan menurun dan tempat penyimpanan atau storage pun terbatas dan menambah biaya.
"Akibatnya, mereka akan menolak buah sawit milik petani dan tentu saja petani akan menjerit," urai Deddy.
Deddy menilai, Pemerintah seharusnya tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar.
Khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.
Baca juga: Kejagung Duga Ada Manipulasi Terkait Izin Ekspor Minyak Goreng
Mereka juga disebut memiliki modal kuat, kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian.
"Dan jika ekspor itu dilarang, industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi," kata Deddy.
"Sebab kebutuhan minyak goreng yang bermasalah itu hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton pertahun dibanding total produksi yang mencapai 47 juta ton pertahun untuk CPO. Dan sekitar 4,5 juta ton pertahun untuk Palm Kernell Oil (PKO)," sambung dia.
Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah mengembalikan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO).
Dengan DMO, maka eksportir CPO wajib mengalokasikan 20 persen ekspornya ke dalam negeri dengan harga CPO yang ditetapkan Pemerintah.
Baca juga: Jokowi: Larangan Ekspor Bahan Baku dan Minyak Goreng Sampai Batas Waktu yang Ditentukan Kemudian
Selain itu, Pemerintah bisa menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Selanjutnya, Pemerintah juga harus memastikan barangnya tersedia dan diawasi dengan baik.
"Pengawasan diperkuat dengan memastikan sinergi kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah. Bila pengawasan berjalan dengan baik, kegiatan penyeludupan dan penimbunan dapat dicegah," kata Deddy.
"Tanpa sinergi yang antara kegiatan pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum, masalah kelangkaan dan harga produk yang tinggi tidak akan pernah bisa selesai," lanjut dia.
Deddy mengingatkan, moratorium itu akan memicu kegiatan penyeludupan, sebab barang akan langka dan harganya melonjak di luar negeri.
Baca juga: Kejagung Geledah 10 Tempat Terkait Kasus Ekspor Minyak Goreng, Termasuk Rumah Dirjen di Kemendag
Menurut dia, jika kebijakan moratorium ekspor itu dilakukan berlama-lama, maka akan menyebabkan barang menjadi langka.
"Jika sudah demikian, maka semua akan rugi. Sebab harga dunia menjadi melonjak habis-habisan," kata dia.
Kendati demikian, Deddy menilai keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek.
Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik.
Sebelumnya, Presiden Jokowi memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng atau CPO dan minyak goreng mulai Kamis (28/4/2022).
Baca juga: Sawit Watch Tantang Pemerintah Buka-bukaan Data DMO Ekspor Minyak Goreng
Jokowi menjelaskan larangan ekspor minyak goreng dan CPO ini dilakukan untuk mengantisipasi harga minyak goreng yang melambung tinggi akibat adanya kelangkaan pasokan minyak goreng di tengah-tengah masyarakat.
"Agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau,” kata Jokowi dalam keterangan pers yang disiarkan melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (22/4/2022).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.