JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota bakal habis masa jabatannya jelang tahun 2024.
Dari jumlah itu, 101 kepala daerah akan lengser dari kursi kepemimpinannya tahun 2022 ini, dan sisanya di 2023.
Lantaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) baru akan digelar serentak di 2024, kursi kepala daerah definitif bakal dibiarkan kosong dan sementara diisi oleh penjabat kepala daerah.
"Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024," demikian Pasal 201 Ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam UU Pilkada juga disebutkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan dilantiknya gubernur definitif.
Sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Publik Nilai Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Belum Transparan
Lantas, apa tugas dan wewenang penjabat kepala daerah? Adakah hal-hal yang dilarang dilakukan penjabat kepala daerah?
Sebagai pengganti sementara kepala daerah, penjabat memiliki tugas dan wewenang menggantikan kepala daerah definitif.
Adapun merujuk Pasal 65 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kepala daerah mempunyai tugas:
Sementara, wewenang penjabat kepala daerah tertuang dalam Pasal 65 Ayat (2) UU Pemerintah Daerah, meliputi:
Tugas dan wewenang penjabat kepala daerah juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Namun, beleid itu spesifik mengatur tugas dan wewenang penjabat kepala daerah ketika kepala daerah definitif mengikuti kampanye Pilkada.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Publik Sepakat Penjabat Kepala Daerah Diisi Kalangan Birokrat
Berikut tugas dan wewenang Pjs gubernur, Pjs bupati, dan Pjs wali kota selama masa kampanye Pilkada menurut Pasal 9 Ayat (1) Permendagri Nomor 1 Tahun 2018:
Lalu, pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang Pjs gubernur, Pjs bupati, dan Pjs wali kota bertanggung jawab dan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada menteri.
Setidaknya ada 4 hal yang dilarang dilakukan penjabat kepala daerah yakni melakukan mutasi pegawai, lalu membatalkan perizinan yang telah dibuat pejabat sebelumnya.
Kemudian, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pemerintah sebelumnya.
Namun, larangan itu dikecualikan jika penjabat kepala daerah mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.
Baca juga: Mayoritas Publik Belum Tahu, Ini 101 Wilayah yang Akan Kehilangan Kepala Daerah Definitif di 2022
Hal ini diatur detail dalam Pasal 132A Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Berikut bunyinya.
"(1) Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang:
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri."