DI TENGAH krisis pasar minyak goreng (migor) sawit, Ketua Dewan Pengarah BRIN, Ibu Megawati Soekarnoputri menghimbau supaya masyarakat memperbanyak konsumsi rebusan dan mengurangi gorengan, dan/atau beralih ke migor kelapa (klentik).
Banyak yang terkejut, baper, dan bahkan protes atas saran ini. Padahal, justru inilah saran yang visioner.
Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (Oilseeds: World Markets and Trade, April 2022), total konsumsi domestik migor sawit di Indonesia tahun 2021 mencapai tidak kurang dari 56,3 kg/kapita/tahun.
Angka ini, jauh lebih tinggi dibanding konsumsi migor sawit India (6,1 kg), China (5,2 kg), dan Amerika Serikat (4,8 kg).
Memang harus hati-hati membaca data komparasi ini, mengingat di banyak negara, volume konsumsi migor non sawit, seperti minyak biji bunga matahari, dan minyak kedelai juga cukup tinggi.
Tetapi, bila mengacu pada Permenkes 30/2013, batas aman konsumsi GGL (gula, garam, lemak) untuk konsumsi migor adalah 5 sendok makan atau setara 67 gram per orang per hari.
Tingkat konsumsi migor sawit saja, yang mencapai 156 gram per orang per hari itu, sudah dalam kategori “rakus”.
Bila konsumsi migor non sawit dihitung juga, maka tidak mustahil konsumsi minyak goreng kita sudah mencapai tingkat “bunuh diri massal”.
Hal ini karena sudah banyak riset tentang sindrom metabolik, yang mengaitkan antara tingginya konsumsi migor sawit dengan potensi timbulnya penyakit degeneratif.
Artinya, saran Ketua Dewan Pengarah BRIN itu, adalah cerminan kehendak untuk peningkatan derajat kesehatan, yang maknanya adalah pengendalian biaya kesehatan, serta penghematan biaya ekonomi nasional. Saran itu juga dalam rangka stabilisasi pasar migor sawit.
Dalam perspektif demand side of economic sociology (Beckert, 2009; 2010; 2019), arena pasar adalah arena pertukaran barang dan jasa yang merupakan bentuk interaksi sosial, yang hanya dapat dijelaskan dalam konteks keterlekatan (embeddedness) struktur sosial, yakni kelembagaan (institutions), jaringan sosial (social networks), dan cakrawala pemaknaan (horizons of meaning) para aktor.
Krisis pasar, termasuk krisis arena pasar migor, ditandai dengan ketidakpastian pasar, baik yang bersumber dari perilaku produsen dan suppliers pada sisi penawaran (supply), maupun akibat dari perilaku konsumen pada sisi permintaan (demand).
Karena itulah, saran perubahan pola konsumsi pangan itu, dari perspektif sosiologi pasar, adalah bagian dari upaya stabilisasi pasar dari sisi konsumen.
Tidak perlu sampai pada tingkat konsumsi di India, China atau Amerika, penurunan tingkat konsumsi migor sawit per kapita sampai mencapai separuhnya saja, yakni 78 gram/orang/hari, dinamika arena pasar migor sawit pastilah bergerak ke arah yang lebih stabil.
Apalagi, bila stabilisasi pasar migor sawit itu dilakukan juga melalui diversifikasi produk, misalnya dengan perbanyakan konsumsi klentik.
Mengapa banyak dari kita yang “marah” ketika disarankan supaya mengurangi gorengan, dan memperbanyak rebusan?
Jawabnya terletak pada soal cakrawala pemaknaan, yang dapat menjelaskan mengapa kita sulit sekali meninggalkan gorengan.
Dalam kerangka sosiologi pasarnya Jens Beckert, barang dan jasa dapat dikelompokkan ke dalam kategori, pertama, barang yang kualitasnya tidak bertumpu pada material produknya, melainkan justru ditentukan secara intersubyektif di antara pelaku pasar.
Kedua, barang yang kualitasnya ditentukan oleh material produknya. Ketiga, barang yang kualitasnya sebagian ditentukan berdasarkan material produk, dan sebagian lagi oleh pemaknaan intersubyektif.
Valuasi produk di arena pasar, untuk kelompok barang pertama, seperti barang seni, wine, specialty coffee, bahkan pasar uang, didominasi oleh nilai dan kualitas simbolik barang.
Sebaliknya, valuasi kelompok barang kedua, seperti barang konsumsi harian, misalnya, alat tulis, sendal rumahan dan sejenisnya, bertumpu sepenuhnya pada kualitas material barang.
Sementara, valuasi kelompok barang ketiga, ditentukan oleh kombinasi antara nilai simbolik dan kualitas material barang.
Tentu, pengelompokan seperti ini bersifat relatif dan dinamis, sesuai dengan karakteristik produk, dan kategori kelompok konsumen.
Sulitnya pergeseran pola konsumsi dari gorengan ke rebusan, boleh jadi karena dalam cakrawala pemaknaan konsumen, nilai simbolik gorengan lebih dominan dari nilai simbolik rebusan.
Pandangan “gorengan itu modern” dan “rebusan itu ndeso”, menggambarkan valuasi intersubyektif sebagian besar konsumen, kecuali bagi yang benar-benar sadar tentang pola hidup sehat.
Bila benar demikian, maka sulitnya kita meninggalkan gorengan itu terkait dengan alasan sosiologis, misalnya, soal status, gaya hidup, dan bahkan penciptaan ilusi diri seperti yang dimaksud oleh Campbell (1987).
Selain faktor keterlekatan kultural atau horizons of meaning itu, faktor kebiasaan makan (food habit) dan bahkan tabiat makan (food habitus), menjadi faktor penting sulitnya kita beralih ke rebusan.
Terlebih lagi, tabiat makan yang sudah tertanam sejak masa kanak-kanak, menjadikan terpolanya sekresi enzyme tertentu dalam indera cita rasa dan sistem pencernakan. Lengkap sudah, ketagihan dan ketergantungan kita pada gorengan.
Jelas bahwa stabilisasi arena pasar migor pada sisi permintaan, dapat dilakukan melalui intervensi pada arena gizi nasional.
Pertama, penting dilakukan intervensi sosiologis untuk pembalikan keterlekatan kultural dan pembentukan tabiat makan orang Indonesia, dengan tema utama menuju pola hidup sehat.
Banyak cara dapat dilakukan dalam intervensi sosiologis ini, yang pada intinya dimaksudkan untuk reposisi nilai simbolik sekaligus nilai material gorengan dan rebusan.
Kedua, pembongkaran keterlekatan kultural itu dilakukan melalui jalur keterlekatan institusional (institutional embeddedness), antara lain dengan cara memperluas tupoksi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi Kementerian Gizi Nasional, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Banyak sekali agenda intervensi institusional yang dapat dilakukan melalui jalur ini.
Ketiga, intervensi sosiologis juga harus menggarap aspek keterlekatan sosial (social networks).
Pembentukan dan pemberdayaan jaringan sosial di mana para aktor kunci berperan dalam mendorong perubahan perilaku konsumsi guna mewujudkan pola hidup sehat, sekaligus stabilisasi pasar pangan, adalah imperatif.
Sisi penawaran
Intervensi sosiologis untuk stabilisasi pasar pangan dan perbaikan pola hidup sehat dari arah sisi penawaran, juga tidak kalah urgensinya. Namun, hal ini perlu dikupas dalam kolom yang lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.