Mengapa banyak dari kita yang “marah” ketika disarankan supaya mengurangi gorengan, dan memperbanyak rebusan?
Jawabnya terletak pada soal cakrawala pemaknaan, yang dapat menjelaskan mengapa kita sulit sekali meninggalkan gorengan.
Dalam kerangka sosiologi pasarnya Jens Beckert, barang dan jasa dapat dikelompokkan ke dalam kategori, pertama, barang yang kualitasnya tidak bertumpu pada material produknya, melainkan justru ditentukan secara intersubyektif di antara pelaku pasar.
Kedua, barang yang kualitasnya ditentukan oleh material produknya. Ketiga, barang yang kualitasnya sebagian ditentukan berdasarkan material produk, dan sebagian lagi oleh pemaknaan intersubyektif.
Valuasi produk di arena pasar, untuk kelompok barang pertama, seperti barang seni, wine, specialty coffee, bahkan pasar uang, didominasi oleh nilai dan kualitas simbolik barang.
Sebaliknya, valuasi kelompok barang kedua, seperti barang konsumsi harian, misalnya, alat tulis, sendal rumahan dan sejenisnya, bertumpu sepenuhnya pada kualitas material barang.
Sementara, valuasi kelompok barang ketiga, ditentukan oleh kombinasi antara nilai simbolik dan kualitas material barang.
Tentu, pengelompokan seperti ini bersifat relatif dan dinamis, sesuai dengan karakteristik produk, dan kategori kelompok konsumen.
Sulitnya pergeseran pola konsumsi dari gorengan ke rebusan, boleh jadi karena dalam cakrawala pemaknaan konsumen, nilai simbolik gorengan lebih dominan dari nilai simbolik rebusan.
Pandangan “gorengan itu modern” dan “rebusan itu ndeso”, menggambarkan valuasi intersubyektif sebagian besar konsumen, kecuali bagi yang benar-benar sadar tentang pola hidup sehat.
Bila benar demikian, maka sulitnya kita meninggalkan gorengan itu terkait dengan alasan sosiologis, misalnya, soal status, gaya hidup, dan bahkan penciptaan ilusi diri seperti yang dimaksud oleh Campbell (1987).
Selain faktor keterlekatan kultural atau horizons of meaning itu, faktor kebiasaan makan (food habit) dan bahkan tabiat makan (food habitus), menjadi faktor penting sulitnya kita beralih ke rebusan.
Terlebih lagi, tabiat makan yang sudah tertanam sejak masa kanak-kanak, menjadikan terpolanya sekresi enzyme tertentu dalam indera cita rasa dan sistem pencernakan. Lengkap sudah, ketagihan dan ketergantungan kita pada gorengan.
Jelas bahwa stabilisasi arena pasar migor pada sisi permintaan, dapat dilakukan melalui intervensi pada arena gizi nasional.
Pertama, penting dilakukan intervensi sosiologis untuk pembalikan keterlekatan kultural dan pembentukan tabiat makan orang Indonesia, dengan tema utama menuju pola hidup sehat.