JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Universitas Padjajaran Idil Akbar mengatakan, sampai saat ini masyarakat dan kalangan akademisi masih menantikan pembuktian klaim big data dukungan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Klaim itu disampaikan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang kerap disapa Cak Imin dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.
"Kalau masyarakat, publik, dan di akademik juga pastinya sangat ingin melihat sejauh mana klaim itu memang sebagai bentuk realitas. Karena konteksnya harus ada pembuktian terhadap klaim tersebut," kata pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/4/2022).
Idil mengatakan, klaim big data dukungan penundaan Pemilu seperti yang disampaikan oleh Luhut atau Cak Imin memang sulit dikonfirmasi. Sebab, sampai saat ini kedua pihak itu juga tak mau buka-bukaan soal data itu.
Menurut Idil, jika keduanya tak bisa membuktikan klaim dukungan big data itu, seharusnya wacana penundaan pemilu tak perlu terus disampaikan.
"Jangan dilanjutkan lagi untuk memproduksi atau mereproduksi wacana tersebut sehingga kemudian kondusivitas di publik terjaga dan masyarakat akan terus berpatokan pada konstisusi saat ini, di mana pemilu itu dilaksanakan 5 tahun sekali dan jabatan presiden hanya 2 periode," ujar Idil.
Baca juga: Pepesan Kosong Big Data, Gembar-gembor Luhut hingga Cak Imin soal Rakyat Minta Pemilu Ditunda
Di sisi lain, Idil menilai Cak Imin dan Luhut sebagai pejabat publik harus bisa mempertanggungjawabkan ucapan mereka, khususnya soal big data dukungan penundaan pemilu itu.
"Karena memang mereka orang yang akan terus menjadi sorotan publik atas apa yang kemudian dinyatakan, diwacanakan, dan yang akan dilaksanakan," ujar Idil.
Pada 26 Februari 2022 lalu, Cak Imin menyampaikan banyak akun di media sosial setuju dengan usulan supaya pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda.
Menurut analisis big data perbincangan di media sosial, kata Muhaimin, dari 100 juta subyek akun, 60 persen di antaranya mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
"Big data mulai jadi referensi kebijakan dalam mengambil keputusan. Pengambilan sikap bergeser dari sebelumnya mengacu pada survei, beralih pada big data," kata Muhaimin dalam keterangannya saat itu.
Menurut Cak Imin, big data dinilai lebih baik ketimbang hasil survei. Dia mengatakan, survei sebuah lembaga umumnya hanya memotret suara responden pada kisaran 1.200-1.500 orang. Sementara itu, responden big data diklaim bisa mencapai angka 100 juta orang.
Luhut juga pernah menyampaikan hal yang sama dalam sebuah acara bincang-bincang yang diunggah dalam sebuah akun YouTube. Saat itu dia mengaku memiliki data aspirasi dari 110 juta warganet meminta supaya Pemilu 2024 ditunda.
Pertanyaan tentang keberadaan big data kembali disampaikan kepada Luhut pada 15 Maret 2022 usai menghadiri acara Kick-off DEWG Presidensi G-20 2022 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Saat itu dia menyampaikan tidak mengada-ada terkait keberadaan big data itu.
"Ya pasti adalah, masa bohong," kata Luhut.