Akibatnya, keesokan paginya tanggal 17 September 1963, Indonesia menunjukan sikap dengan langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Demo besar di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur terjadi, foto Presiden Soekarno dirobek-robek, lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, digotong ke hadapan kantor Perdana Menteri untuk diinjak-injak.
Atas semua situasi tersebut, Presiden Soekarno menyampaikan imbauan pada 3 Mei 1964 untuk mempertinggi ketahan revolusi Indonesia, serta membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia atau yang dikenal dengan Dwikora.
Pada saat bersamaan, Malaysia justru menjadi anggota tidak tetap dewan keamanan PBB dengan didukung Inggris.
Akhirnya dengan gagah berani Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Itulah bayangan pasang surut sejarah konflik Indonesia dan Malaysia.
Sungguh membahana berita tentang pembukaan dan peresmian pintu gerbang darat Indonesia-Malaysia pada 30 Mei 1992. Hampir seluruh kementerian dan lembaga serta tokoh masyarakat dan petani hadir di sana.
Berbagai acara digelar termasuk dialog Presiden Soeharto dengan petani yang populer dikenal dengan nama "Klopencapir". Acara itu disaksikan seluruh rakyat Indonesia melalui televisi. Bersamaan dengan peresmian Lintas Batas Entikong tersebut, Presiden Soeharto juga meremikan jalan negara sepanjang 94,8 Km dari simpang Tanjung Sosok menuju Entikong, yang langsung berbatasan dengan Serawak Malaysia.
Selain jalan dan pintu gerbang, juga diresmikan dua buah pabrik minyak kelapa sawit terbesar di Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Panjangat dan Kabupaten Sanggau. Turut diresmikan pula Rumah Sakit PT Perkebunan VII di Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau. Sehingga bisa dibayangkan Entikong sebuah Kecamatan kecil menjadi meriah.
Anak-anak sekolah berbaju pramuka mengibarkan bendera merah putih kecil memenuhi tepi jalan Balai Karangan Entikong. Saat itu seingat penulis, penduduk Entikong hanya 10 ribu-an jiwa dengan penyebaran populasi tersebar di Desa Nekan, Suruh Tembawang, Semanget, dan Pala Pasang.
Baca juga: INFOGRAFIK: PLBN Entikong, Pembenahan Wajah Indonesia di Perbatasan Malaysia
Populasi terbesar ada di Entikong dan Semanget, yang justru di dominasi oleh masyarakat pendatang. Untuk mengimbangi negara tetangga Malaysia, pemerintah pusat berusaha untuk melengkapi sarana dan prasarana pendukung perbatasan.
Di jajaran kepolisian, Mabes Polri membangun Markas Kepolisian Sektor Selektif Entikong. Personel dipilih langsung dari pusat-pusat pendidikan Polri yang personelnya dipilih yang tinggi-tinggi dan berbadan besar (rata-rata tinggi di atas 170 cm). Markas Polsek dibangun baru, walaupun berada di Desa yang sepi tetapi polsek selektif ini dilengkapi dengan unit patroli lalu lintas dan Sabahara yang lengkap. Baik patroli roda dua, roda empat dan patroli sepeda.
Peralatan kantor semua serba baru dan prioritas. Kapolseknya wajib ada pendamping, semacam ajudan, walau tidak disebut ajudan dan sopir.
Secara sosiologis-demografis, masyarakat perbatasan kedua negara tidak memiliki friksi dan konflik. Mereka hidup rukun, duduk berdampingan satu sama lainnya. Mata uang ringgit dan rupiah sebagai alat transaksi jual beli, juga sama berlaku di kedua negara.
Warga desa-desa yang jauh, yang berbatasan langsung, bisa menyeberang tanpa Pas Lintas Batas. Sepertinya tidak ada batas fisik di antara keduanya, walau saat diminta untuk menunjukkan patok perbatasan negara, mereka bisa menunjukkannya dengan pasti.
Pernah suatu saat penulis ikut acara gawai (pesta adat dayak) sampai tengah malam dan baru sadar bahwa pada malam itu penulis sudah masuk ke wilayah negara tetangga, Malaysia. Mereka merasa sama, perkawinan antar warga lintas negara pun jamak terjadi. Apa yang berbeda? Saat itu yang sangat terasa adalah infrastruktur pada Pos Lintas Batas Negara (PLBN). Harus diakui Malaysia jauh lebih maju.
Bisa dibayangkan di kantor dan di rumah dinas, penulis lebih banyak menikmati acara TV 1, TV 2, dan TV 3 Malaysia ketimbang acara TV Indonesia. Televisi Indonesia yang jelas saat itu hanya ada TVRI, yang itu pun harus diperkuat sinyalnya dengan menggunakan tiang antena bambu yang dipasang tinggi.