Negara jiran kita, Sri Lanka, beberapa bulan terakhir ini tengah dalam tubir kekacauan massal.
Krisis ekonomi yang semakin dalam, gejolak sosial dan krisis politik, tumpukan hutang luar negeri serta politik dinasti menjadi persoalan krusial yang membelit negeri di selatan Asia itu.
Krisis ekonomi yang memburuk di Sri Lanka diduga akibat salah kelola oleh rezim klan Presiden Rajapaksa, telah memicu gejolak sosial dan politik yang hebat.
Kekurangan pangan, bahan bakar, dan obat-obatan yang berlangsung sejak lama telah memicu demonstrasi dan desakan agar klan Rajapaksa dan kroninya yang menguasai pemerintahan segera lengser.
Tindakan represif aparat terhadap aksi protes dari anggota parlemen oposisi dan massa membuat situasi semakin panas.
Situasi ini berakumulasi menjadi krisis terburuk Sri Lanka sejak negara itu merdeka dari Inggris pada 1948.
Krisis makin dalam setelah jajaran menteri kabinet mengundurkan diri hingga tinggal menyisakan presiden dan perdana menteri saja.
Oposisi Sri Lanka menolak tawaran Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk bergabung dengan barisan pemerintah.
Pihak oposisi menilai tawaran tersebut tidak masuk akal. Oposisi terus mendesak Gotabaya mundur akibat krisis ekonomi yang diperburuk oleh pandemi Covid-19.
Sri Lanka sekarang, misalnya, minim uang tunai dan nihil cadangan devisa setelah usaha pariwisatanya yang menjadi andalanya ambruk (Kompas.id, 5 April 2022).
Tentu kita bisa belajar dari salah urus pemerintahan, akumulasi pinjaman hutang dan pemotongan pajak yang keliru di Sri Lanka menyebabkan aksi chaos rakyatnya yang kelaparan karena melangitnya harga-harga kebutuhan pokok dan langkanya BBM di pasaran.
Tentu kita juga tidak ingin Jokowi terbuai dengan perpanjangan jabatan presiden tiga periode karena politik “muka manis” partai politik yang berdiri dua kaki dan berwajah ganda.
Indonesia memang bukan Sri Lanka walau gejala-gejala awalnya seperti semakin menggunungnya hutang luar negeri, kelangkaan BBM, naiknya harga-harga kebutuhan primer dan aksi turun ke jalan dari mahasiswa dan elemen masyarakat sudah terlihat nyata.
Jokowi butuh teman.....tetapi bukan dari politisi yang berhati tamak. Jokowi butuh “sohib”....yang tulus mendampinginya hingga akhir masa jabatannya nanti di Oktober 2024.
Perjalanan membawamu
Bertemu denganku, ku bertemu kamu
Sepertimu yang kucari
Konon aku juga s'perti yang kaucari
Kukira kita asam dan garam
Dan kita bertemu di belanga
Kisah yang ternyata tak seindah itu
Penggalan lirik lagu “Hati-Hati di Jalan” oleh Tulus ini semoga kerap didengarkan Presiden Jokowi walau menjadi penggemar berat grup band asal AS, Metallica.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.