Namun, hal tersebut belum cukup. Sebab, WA merupakan platform komunikasi yang berbeda dengan media sosial lainnya. Sulit untuk menelusuri siapa yang pertama kali membagikan misinformasi pertama kali di WA. Kebijakan enkripsi yang diterapkan juga berimplikasi pada ketidakmampuan Facebook/Meta melacak sumber misinformasi.
Dr. Patricia Rossini dari University of Liverpool (Inggris) dalam penelitiannya terkait misinformasi politik menjelaskan bahwa WA merupakan lahan subur untuk penyebaran misinformasi. Masyarakat yang tidak melek politik bisa dengan mudah jadi agen penyebaran misinformasi. Berbeda dengan unsur disinformasi, dalam penyebaran misinformasi via WA terdapat unsur ketidaksengajaan.
Meski demikian, Rossini juga menyampaikan bahwa misinformasi politik di WA dapat diminimalisir. Caranya melalui koreksi yang umumnya dilakukan oleh pihak yang diajak diskusi, baik individu yang jadi lawan bicara atau anggota grup WA.
Namun, seberapa besar dampak dari koreksi atas misinformasi politik ini belum dapat diukur. Satu hal yang pasti adalah penyebaran misinformasi lebih cepat daripada penyebaran kebenaran (informasi koreksi).
Berangkat dari pemaparan di atas, pada Pemilu 2024, publik harus lebih jeli mencari dan menyebarluaskan informasi politik. Kondisi ini juga menjadi penting bagi media pers nasional dalam menggenjot produktivitas konten seperti cek fakta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.