"Ini kan problem. Jadi, bukan hanya di level aturan yang itu bobotnya 20 persen, tapi juga tindakan politik wali kota yang tidak toleran," ungkapnya.
Pada Oktober 2021, Wali Kota Depok Mohammad Idris ramai dikritik karena mendadak menyegel ulang Masjid Al-Hidayah milik muslim Ahmadiyah di Sawangan.
Penyegelan tersebut disertai intimidasi, ancaman, serta ujaran-ujaran kebencian dari sekelompok massa yang datang bersama Satpol PP Kota Depok.
"Lawan dari pemimpin yang toleran adalah pemimpin yang intoleran, dan itu terjadi di Depok. Kita bisa melihat bagaimana tidak terbukanya kepala daerah Depok terhadap kemajemukan," jelas Ismail.
Ismail menambahkan, dari 4 variabel yang ada, elemen masyarakat sipil di Depok menorehkan skor cukup baik namun tak cukup untuk menambal skor buruk dalam hal produk hukum daerah dan kepemimpinan politik.
Baca juga: Mahfud MD Jelaskan Ada Tiga Jenis Radikalisme, Intoleran hingga Teror
Akibatnya, Depok dinilai amat terdominasi oleh salah satu agama dalam berbagai ruang-ruang publik, termasuk hingga sektor properti.
"Kalau teman-teman masuk ke Depok, bagaimana dalam 20 tahun berjalan, Depok mengalami satu proses penyeragaman yang serius atas nama agama dan moralitas," ujar Ismail.
Jakarta membaik
Sementara itu, DKI Jakarta mencatat perbaikan signifikan dalam indeks kota toleransi.
Berdasarkan indeks itu, Jakarta kini ada di posisi 40 dari 94 kota.
Padahal, pada 2020, DKI Jakarta masih ada di peringkat 82.
Perbaikan sebanyak 42 peringkat ini hanya kalah dari Kota Banjarmasin yang naik 44 peringkat dari 62 (2020) menjadi 18 (2021).
Ismail mengapresiasi progres ini.
Terlebih, DKI Jakarta sempat jadi kota paling intoleran pada 2017 dan kota ketiga paling intoleran pada 2018.
Baca juga: Riset PPIM UIN Jakarta: 30,16 Persen Mahasiswa Indonesia Intoleran
"Setelah Pilkada 2017, waktu itu Pak Anies belum membuat RPJMD baru, artinya pada variabel itu kami tidak bisa nilai," jelas Ismail.