Diperlukan berbagai macam pertimbangan matang dan menyeluruh sebelum peralihan status tersebut dilakukan. Dukungan dari berbagai pihak, jelas sangat dibutuhkan.
Dikutip dari Fakhruddin dkk (2020), tatkala dunia tengah bertransisi menuju pemulihan dari Covid-19, pihak-pihak yang mengembangkan proses pemulihan tersebut membutuhkan dukungan dalam menyesuaikan dan meningkatkan kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan mereka.
Pandemi, masih dikutip dari Fakhruddin dkk, tidak akan membiarkan negara-negara melakukan transisi secara sederhana menuju kondisi pemulihan skala penuh. Malah yang bakal terjadi adalah “rebound” dari fase pemulihan kembali lagi ke fase respons, cenderung akan terjadi selama periode tertentu hingga imunisasi (vaksinasi) diselesaikan.
Kondisi “rebound” yang dimaksud berhubungan kemunculan sejumlah gelombang Covid-19 sejak pertama kali dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020.
Menyusul sifat pandemi Covid-19 yang terjadi dalam beberapa gelombang dan membuat fase respons, transisi, dan pemulihan cenderung bakal terjadi dalam siklus tertentu, diperlukan analisis yang sifatnya lebih cenderung untuk membaca tren.
Dua tahun sejak kasus Covid-19 terdeteksi di Indonesia, data memperlihatkan kecenderungan terjadi tren kenaikan dan penurunan kasus pada sejumlah periode tertentu. Variabel-variabel seperti kebijakan pengetatan mobilitas, penegakan protokol kesehatan, cakupan vaksinasi, dan mutasi virus SARSCoV-2 menjadi sejumlah varian, turut menentukan tren tersebut.
Pengetahuan mengenai tren ini menjadi modal penting bagi pemangku kebijakan. Salah satu kegunaan pentingnya adalah agar pemerintah dapat memformulasikan dan menetapkan kebijakan yang tepat untuk menangani pandemi Covid-19. Maka, prediksi tren kenaikan atau penurunan kasus Covid-19 relatif penting untuk dilakukan.
Sejumlah metode dan pemodelan pun dikembangkan untuk dapat memprediksi tren dimaksud, antara lain metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA), Autoregressive Model, Moving Average, dan Autoregressive Moving Average (ARMA), yang digunakan di sebagian negara (Wiguna dkk, 2020).
Sebagaimana dikutip dari Wiguna dkk (2020) dalam makalah berjudul Kebijakan Berbasis Data: Analisis dan Prediksi Penyebaran COVID-19 di Jakarta dengan Metode Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA), metode ARIMA digunakan pula untuk melakukan analisis prediktif guna mengetahui perkiraan jumlah kasus Covid-19, selain untuk memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi terkini tentang pandemi Covid-19 di DKI Jakarta.
Metode ARIMA untuk tujuan tersebut, masih dikutip dari makalah yang sama, menggunakan basis data Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Basis data tersebut digunakan oleh dinas kesehatan, puskesmas, dan rumah sakit untuk kebutuhan dimaksud.
Selain metode-metode yang telah disebutkan di atas, metode lain yang relatif populer adalah prediksi tren wabah dengan memakai data penggunaan kata kunci tertentu di mesin pencari Google. Pada 2009, para insinyur di Google berhasil memprediksi di mana wabah flu babi (H1N1) telah menyebar dalam waktu nyaris seketika.
Prediksi oleh Google itu tidak seperti informasi serupa yang dihasilkan Pusat Pengendali dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention atau CDC) Amerika Serikat, yang muncul lebih lambat satu atau dua pekan setelah fakta persebaran virus tersebut terjadi.
Para insinyur di Google melakukannya dengan menggunakan 50 juta istilah pencarian yang paling kerap diketikkan orang-orang di Amerika. Daftar itu lantas dibandingkan dengan data CDC tentang persebaran flu musiman antara 2003 hingga 2008.
Gagasannya, mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terinfeksi virus flu berdasarkan hal-hal yang dicari warga di internet (Mayer-Schönberger dan Cukier, 2013).
Masih dikutip dari Mayer-Schönberger dan Cukier (2013), sistem yang dikembangkan Google itu melihat korelasi antara frekuensi dari pencarian terhadap kata kunci tertentu dan penyebaran virus flu dalam ruang dan waktu tertentu.
Tidak kurang 450 juta model matematika dipakai untuk menguji istilah-istilah pencarian tersebut, dan kemudian dibandingkan dengan kasus-kasus flu dari data CDC selama 2007 hingga 2008.
Hasilnya, kombinasi 45 istilah-istilah pencarian, yang tatkala dipergunakan bersamaan dalam model matematika, membuktikan bahwa antara prediksi Google dan angka resmi secara nasional punya korelasi kuat.
Berdasarkan hal tersebut, Kudu mencoba melakukan hal serupa, dalam ruang lingkup yang relatif lebih terbatas. Hal ini dilakukan dengan terlebih dahulu mencari dan menentukan beberapa kata atau frasa yang diasumsikan kerap dipergunakan sebagai kata pencarian melalui media sosial dan media massa.
Terkumpul beberapa kata yang dimaksud, yakni: “antigen,” “swab”, "gejala covid", “ct value” “pcr”, "batuk", “anosmia”, “tabung oksigen”, “saturasi”, “proning”, “isoman”, dan “tenggorokan”. Dari situ, satu per satu dilihat trennya melalui Google Trends yang akan memberikan nilai intensitas dari 0-100.
Nilai intensitas ini diperoleh Google dari membandingkan jumlah pencarian di wilayah geografis tertentu (dalam hal ini, Indonesia) dalam waktu tertentu sesuai dengan pencarian tren. Lantas, hasilnya dinormalisasi dalam rentang 0-100. Penjelasan lebih detail mengenai perhitungan nilai intensitas tersebut dapat disimak di link ini.
Nilai intensitas ini kemudian dibandingkan dengan angka kasus baru dan kematian baru tiap minggunya. Ini juga diubah skalanya dari 0 ke 1 dengan mengurangi nilainya dengan nilai minimum, kemudian dibagi dengan nilai maksimum dikurangi nilai minimum.
Secara kasat mata, terlihat bahwa intensitas pencarian kata kunci ini puncaknya mendahului puncak kasus harian. Kata “antigen”, “swab”, “gejala covid”, “ct value”, “pcr” misalnya, memuncak dua minggu sebelum puncak kasus di Jawa dan tiga minggu sebelum puncak kasus di luar Jawa saat varian Delta menjamur pada pertengahan Juli 2021.
Hal ini juga berlaku pada varian Omicron di mana kata-kata tersebut mulai naik kembali aktivitasnya pada akhir Januari 2022, dua pekan sebelum puncak kasus di Jawa.
Selain itu, kata kunci yang berhubungan dengan gejala spesifik seperti “batuk”, “anosmia”, dan “tenggorokan” memuncak seminggu setelahnya, dibarengi dengan kata kunci yang berhubungan dengan kondisi lebih serius seperti “tabung oksigen”, “saturasi”, “proning”, “isoman”.