Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Belum Aman Longgarkan Jaga Jarak dan Copot Masker, Ini Alasannya

Kompas.com - 10/03/2022, 18:47 WIB
Elza Astari Retaduari

Penulis

Jangkar pengaman yang dimaksud misalnya adalah dengan peningkatan cakupan vaksinasi. Dengan begitu, imunitas masyarakat semakin lebih banyak terbentuk.

"Termasuk skrining diperkuat. Lalu perkuat lagi di masalah protokol kesehatan. Masker, jaga jarak, kapasitas yang ketat, tidak langsung 100 persen. Itu harus dilakukan," jelas Dicky.

Pelonggaran kebijakan memakai masker dan jaga jarak dinilai belum waktunya dilakukan. Salah satu alasannya adalah karena subvarian Omicron BA.2 yang menurut penelitian punya bahaya lebih tinggi ketimbang varian Delta.

"BA.2 serius sekali ancamannya karena dari hasil laporan seperti dari Tokyo, kita melihat bahwa BA.2 ini 4x lebih dari Delta. Dan yang paling menjadi catatan atau perhatian juga adalah, dia memiliki potensi 10x lebih besar dari BA.1," terang Dicky.

Varian Delta membuat lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia terjadi pada tahun 2021. Bahkan ketika itu banyak rumah sakit collapse dan kasus kematian sangat tinggi.

Baca juga: Menuju Endemi, Kemenkes Bicara Kemungkinan Lepas Masker dan Tak Lagi Jaga Jarak

Oleh karena itu, Dicky menyoroti keputusan pemerintah yang dinilainya terlalu buru-buru dalam melakukan banyak pelonggaran.

"Kalau ini (protokol kesehatan) tidak dilakukan dalam keseharian kita di tengah situasi yang juga masih serius ini, kita akan memberi peluang pada sub varian BA.2 Omicron ini untuk jadi masalah di Indonesia. Dan mereka sudah ada," sebut dia.

Masalah yang dimaksud adalah bagaimana BA.2 akan membuat kasus Covid-19 kembali meningkat. Maka pelonggaran secara serentak dianggap justru akan membahayakan.

Dicky pun menyarankan pemerintah tetap mewajibkan masyarakat melakukan protokol kesehatan 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas).

Baca juga: Tanda Jaga Jarak di Kursi Kereta Dicabut, Penumpang dari Stasiun Bekasi Duduk Berdempetan

Untuk pelonggaran, harus dilakukan secara bertahap dan tidak bisa serentak.

"Konsisten terus, disiplin dalam 5M ini belum bisa kita longgarkan. Yang lainnya oke bertahap kita longgaran untuk pemulihan aspek ekonomi dan lainnya, tapi yang sifatnya protokol kesehatan ini belum," tegas Dicky.

Apalagi vaksinasi di Indonesia belum dilakukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Pada awal Maret lalu, cakupan vaksin Covid-19 di Indonesia berada di angka 70%.

"Modal imunitas kita kan belum memadai ya. Yang (cakupan vaksin) sudah 90% aja masih diketatkan jaga jarak dan kedisiplinannya," kata Dicky.

Ia pun mengkritik kebijakan pemerintah mengenai kereta rel listrik (KRL) yang sudah mengizinkan penupang duduk tanpa jarak sejak Rabu kemarin.

"Saya sangat prihatin ketika kereta begitu. Masalahnya situasinya berbahaya, kita belum seaman itu. Pelonggaran terlalu serentak dan terburu-buru, kalau dilakukan semuanya berbarengan," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com