JAKARTA, KOMPAS.com - Komnas HAM mengungkap dugaan penyiksaan terhadap warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika Kelas IIA Yogyakarta.
Hasil penyelidikan Komnas HAM, penyiksaan ini disertai pula dengan sejumlah tindakan "merendahkan martabat manusia".
"Terdapat minimal 13 alat yang digunakan dalam penyiksaan," tulis Komnas HAM dalam paparan yang dibacakan pada jumpa pers, Senin (7/3/2022).
Akibat dari kekerasan-kekerasan ini, banyak warga binaan mengalami rasa tertekan secara mental, selain juga mengidap luka-luka.
Sebagian warga binaan bahkan disebut masih mengalami bekas luka atau luka bernanah hingga kunjungan terakhir Komnas HAM ke lapas tersebut pada November 2021 silam.
Komnas HAM mencatat sedikitnya 17 bentuk penyiksaan dan perendahan martabat itu.
Pemantau aktivitas HAM Komnas HAM Wahyu Pratama Tamba menyebut, tim menemukan dan mencatat 9 penyiksaan berupa kekerasan fisik terhadap para warga binaan.
"Pemukulan menggunakan tangan kosong, menggunakan selang dan kabel, menggunakan alat kelamin sapi, menggunakan kayu," kata Pratama dalam jumpa pers, Jumat (7/3/2022).
"Kemudian ditampar, pencambukan menggunakan alat pecut dan penggaris, penyiraman air dengan garam dan air dengan rinso terhadap luka, direndam di kolam lele sembari dipukuli, ditendang dan dinjak-injak dengan menggunakan sepatu PDL," tambahnya.
Baca juga: Kanwil Kemenkumham DIY Meminta Maaf soal Kekerasan oleh Oknum Petugas di Lapas Narkotika Yogyakarta
Sementara itu, 8 perlakuan merendahkan martabat meliputi suruhan untuk memakan muntahan makanan, menggunakan air seni untuk minum dan mencuci muka, telanjang bulat dan diminta mencabut rumput sembari dicambuk menggunakan selang.
"Lalu pemotongan jatah makanan, pencukuran atau penggundulan rambut bahkan dalam posisi telanjang, disuruh melakukan 3 gaya bersetubuh dalam posisi telanjang, jongkok dan berguling-guling di aspal dalam keadaan telanjang, dan disuruh makan buah pepaya busuk dalam keadaan telanjang yang disaksikan sesama warga binaan, petugas lapas, baik pria maupun wanita," jelas Pratama.
Penyiksaan dan perendahan martabat ini semakin meningkat intensitasnya pada 2020 ketika lapas dipimpin oleh kepala baru yang menginginkan pendisiplinan warga binaan.
Peristiwanya terjadi dalam berbagai waktu, mulai dari saat warga binaan masuk lapas (1-2 hari pertama), pada masa pengenalan lingkungan, serta saat warga binaan dianggap melakukan pelanggaran.
"Peristiwa pada malam hari biasanya pada saat petugas mendatangi setiap blok dalam rangka penyisiran dan pada waktu siang hari saat warga binaan pertama kali masuk ke dalam lapas," kata Pratama.
Komisioner Komnas HAM Bidang Penyelidikan dan Pemantauan, Choirul Anam, menyinggung pergantian struktur kepemimpinan pada 2020 di balik penyiksaan-penyiksaan di Lapas Narkotika IIA Yogyakarta.
"Ada pergantian kepala lapas. Di situ lah intensitas kekerasan terjadi karena apa, karena memang terjadi pembersihan narkotika di sana," ujar Anam.
Dalam pembersihan itu, intensitas kekerasan menguat. Kunci sel pun dibiarkan ada di lapas untuk memudahkan penyisiran yang kabarnya dilakukan pagi, siang, hingga malam.
Selama kurun itu, ditemukan sedikitnya 2.888 pil sapi, 315 ponsel, dan 227 bunker yang diduga digunakan untuk memuluskan peredaran narkoba dari dalam lapas.
Namun demikian, tradisi kekerasan terhadap warga binaan ini rupanya terus berlangsung, setidaknya hingga kunjungan terakhir Komnas HAM pada November tahun lalu.
Komnas HAM menegaskan bahwa atas dalih apa pun, kekerasan dan perendahan martabat terhadap warga binaan tak dapat dibenarkan.
"Jangan dalam rangka mendisiplinkan narapidana, kemudian melakukan pemukulan. Pendisiplinan itu harus didukung pemahaman dia tentang hak asasi manusia. Jangan merendahkan martabat orang," ujar Ketua Komnas HAM, Taufan Damanik.
Baca juga: Komnas HAM: Pendisiplinan Warga Binaan Lapas Tak Jadi Pembenaran Mereka Boleh Disiksa
Ia menyampaikan, Indonesia sejak 1998 telah meratifikasi konvensi internasional antipenyiksaan, perendahan martabat manusia, dan penghukuman yang tidak manusiawi.
'"Dalam konvensi antipenyiksaan itu, jelas sekali ada banyak pasal yang sudah menjadi hukum nasional kita karena sudah diratifikasi Presiden Habibie," jelas Taufan.
"Ada kan teknik lain. Mereka (petugas lapas) kan ada kurikulum, ada sekolahnya. Mereka ada pendidikan khusus, training-training tambahan, gunakan dong keahlian itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia," lanjutnya.
Meski demikian, Komnas HAM mengapresiasi keterbukaan Kementerian Hukum dan HAM sehingga mereka dapat leluasa menyelidiki kasus ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.