JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali mengemuka menyusul isu penundaan Pemilu 2024.
Seperti kita tahu, masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia dibatasi maksimal dua periode. Sementara, lama jabatan satu periode yakni lima tahun.
Aturan ini tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Baca juga: Isu Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Siapa Berkepentingan?
Masing-masing negara memiliki aturan batasan masa jabatan pimpinannya sendiri.
Filipina misalnya, menurut Konstitusi 1987, presiden hanya bisa menjabat selama satu periode dengan lama jabatan 6 tahun.
Sama seperti Filipina, masa jabatan presiden Korea Selatan juga dibatasi satu periode dengan lama jabatan 5 tahun. Pembatasan ini ditetapkan melalui amendemen Konstitusi tahun 1987.
Lain halnya dengan Amerika Serikat, sejak amandemen Konstitusi ke-22 tahun 1951, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode. Adapun lama jabatan satu periode yakni 4 tahun.
Amendemen juga mengatur bahwa seseorang yang telah menjadi presiden atau pejabat presiden lebih dari 2 tahun, separuh periode jabatan presiden, hanya dapat dipilih kembali untuk maksimal satu periode jabatan kepresidenan.
Artinya dalam kondisi normal, presiden Amerika Serikat maksimal dapat menjabat selama 8 tahun, atau jika dalam kondisi luar biasa maksimal 10 tahun.
Baca juga: Wacana Menunda Pemilu 2024 Sulit Terwujud dan Bentuk Amnesia Reformasi
Jelang berakhirnya kepemimpinan periode kedua Presiden Obama di tahun 2017, sejumlah pendukung mendorongnya untuk kembali menjabat.
Namun, keinginan itu tak jadi kenyataan, hingga akhirnya Obama digantikan oleh Donald Trump pada 20 Januari 2017.
Sementara, di Indonesia, wacana perpanjangan masa jabatan presiden telah berulang kali ditolak Presiden Joko Widodo.
Kali pertama isu ini muncul di 2019, pesiden sempat curiga ada pihak yang ingin menjerumuskannya dengan mengusulkan wacana tersebut.
"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, 2 Desember 2019.
Awal 2021, isu perpanjangan masa jabatan presiden muncul kembali. Jokowi kembali menegaskan bahwa dirinya tidak berniat dan tak punya minat untuk menjabat selama 3 periode.
Sikap ini, kata dia, tidak akan pernah berubah. Sebagaimana bunyi konstitusi atau Undang Undang Dasar 1945, masa jabatan presiden dibatasi sebanyak dua periode.
"Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/2021).
Baca juga: Mereka yang Coba Rayu Jokowi untuk Jadi Presiden Lebih Lama...
Lantas, mengapa masa jabatan presiden di Indonesia dibatasi maksimal 2 periode?
Menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, data global mencatat bahwa 43 persen konstitusi dunia mengatur batas masa jabatan untuk eksekutif nasional.
Angka itu bisa bertambah ke proporsi yang lebih tinggi jika hanya dihitung untuk negara-negara dengan sistem presidensial dan semi-presidensial, di mana presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Batasan masa jabatan yang berlaku paling umum adalah mandat maksimum dua masa jabatan berturut-turut.
Baca juga: Pro Kontra Penundaan Pemilu dan Kecemasan Orang-orang Sekitar Jokowi...
Titi mengatakan, tujuan utama pembatasan masa jabatan presiden adalah untuk menghindari terjadinya tirani kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Perilaku sewenang-wenang mungkin muncul akibat pemusatan kekuasaan secara absolut pada presiden.
Sebagaimana diketahui, presiden di negara yang menganut sistem presidensial tidak hanya bertindak sebagai kepala negara, tetapi juga kepala pemerintahan. Oleh karenanya, otoritasnya sangat besar.
Sehingga, jika masa jabatannya tidak dibatasi, dengan kewenangan yang ada ditambah penumpukan kekuasaan melalui penempatan orang-orang yang tunduk kepada kehendak presiden, fungsi kontrol (check and balances) bisa melemah.
"Di situlah penyalahgunaan kekuasaan bisa leluasa terjadi, seperti halnya di masa orde baru di mana negara berhadapan dengan praktik akut korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata Titi kepada Kompas.com, Selasa (1/3/2022).
Indonesia sendiri pernah berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun.
Rezim ini, kata Titi, merefleksikan situasi pemusatan kekuasaan, lemahnya kekuatan penyeimbang, dan terjadinya kesewenang-wenangan akibat penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh karenanya, pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi kelompok pertama yang diatur tegas dalam perubahan UUD Tahun 1945.
Baca juga: Soal Usulan Penundaan Pemilu, KSP: Presiden Selalu Mengacu pada Konstitusi
Sebelum amendemen, Pasal 7 UUD 1945 mengatakan bahwa masa jabatan presiden dan wakilnya adalah lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali tanpa ada batasan berapa kali periode diperbolehkan menjabat.
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali," demikian bunyi Pasal 7 UUD 1945 sebelum amendemen.
Amendemen pertama dilakukan pada 14-21 Oktober 1999 dalam Sidang Umum MPR 1999. Perubahan itu salah satunya mengatur pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden melalui Pasal 7 UUD 1945.
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan," bunyi Pasal 7 UUD 1945 setelah amendemen.
Baca juga: Saat PAN, PKB, dan Golkar Satu Suara Soal Perpanjangan Jabatan Presiden...
Menurut Titi, UUD hasil amendemen memiliki semangat membatasi kekuasaan pemerintah melalui pengaturan pembatasan masa jabatan, agar penyelenggaraan negara tidak sewenang-wenang atau otoriter.
"Di mana hal itu merupakan hasil perjalanan sejarah bangsa yang merefleksikan pembelajaran 32 tahun berada di bawah kekuasaan orde baru, kekuasaan eksekutif nasional yang tidak mengenal adanya pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden," kata dia.
Sementara, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menilai, penting untuk memastikan terjadinya pergantian kepemimpinan suatu negara.
Penumpukan kekuasaan yang terlalu besar hasil dari berkuasa terlalu lama akan membuat penguasa menjadi otoriter, yakin bisa berbuat apa saja yang diinginkan, termasuk merampok uang negara.
Mengutip adagium guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, Lord Acton, Hadar mengatakan, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
"Perlu adanya pembatasan periode jabatan adalah untuk memastikan tetap berjalannya ruang terjadinya sirkulasi elite," kata Hadar dalam perbincangan dengan Kompas.com, Rabu (2/3/2022).
Sama seperti Titi, menurut Hadar, pembatasan kekuasaan presiden di Indonesia tak lepas dari sejarah RI dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun.
Menurut Hadar, sistem demokrasi yang sehat tidak bertahan di satu tangan terlalu lama. Oleh karenanya, pembatasan masa jabatan dua periode dinilai paling tepat.
"Perlu berjalan sistem yang terbuka untuk kesempatan kelompok lain, generasi lain memimpin," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.