Oleh ibunya, Faldo diminta merantau ke Kupang. Sang ibu sudah kesusahan menghidupi ketujuh anaknya sendirian. Ayah Faldo merantau ke Malaysia tetapi setahun terakhir tak pernah lagi mengirimkan uang untuk semua anaknya yang juga sudah putus sekolah.
”Mau sekolah, tapi siapa yang bayar?" ketika ditanya keinginannya bersekolah lagi, dalam artikel Mimpi yang Terkubur di Usia Belia, yang tayang di harian Kompas edisi Selasa (1/3/2022).
Badan PBB untuk Pendanaan Anak-anak (Unicef) menyebut, pandemi menyulut lonjakan kasus putus sekolah karena faktor kemiskinan.
Spesialis Pendidikan Unicef Indonesia, Suhaeni Kudus, dalam wawancara dengan tim Berkas Kompas dari Kompas TV menyatakan temuan organisasinya ada 70 persen anak putus sekolah selama pandemi disebabkan oleh faktor ekonomi. Sebelum pandemi, lanjut dia, faktor kemiskinan menyumbang 38 persen sebab kasus putus sekolah.
Pemerhati pendidikan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengungkapkan situasi serupa. Menurut dia, kebanyakan yang terjadi adalah anak-anak yang tak bisa membayar biaya sekolah karena orangtuanya terdampak pandemi.
"Juga ada faktor mereka harus bekerja karena orangtua di-PHK, (atau) karena usaha (orangtua) seret ketika pandemi maka anak bekerja," ungkap Ubaid kepada tim Berkas Kompas.
Perkembangan situasi dunia yang menjadi serba digital terutama sepanjang pandemi Covid-19, imbuh Ubaid, memunculkan juga sejumlah anak yang putus sekolah karena menjadikan permainan di gawai sebagai segala-galanya.
"Kecanduan game sehingga (baginya) game adalah segalanya. Buat apa sekolah. Di game itu mereka (merasa) punya teman banyak, punya komunitas, bisa transaksi, bisa mendapatkan uang," tutur Ubaid.
Baca juga: Kecanduan Gadget dan Game Online Itu Nyata
Namun, ketiadaan biaya tetap masih menjadi alasan terbanyak dari kasus putus sekolah, tak terkecuali selama pandemi.
Kasus anak putus sekolah di Indonesia tidak unik hanya terjadi selama pandemi. Meskipun, sekali lagi, pandemi menjadi faktor tambahan bagi risiko anak putus sekolah.
Merujuk Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,Riset, dan Teknologi, ada 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah hingga akhir 2021. Di jenjang SMA dan sederajat, tercatat 22.085 siswa putus sekolah pada periode yang sama.
Kepala Pusdatin Kemendikbudristek M Hasan Chabibie, dalam wawancara dengan harian Kompas mengatakan, data kependidikan kini terintegrasi dengan data induk kependudukan, kemiskinan, dan kesehatan. Namun, dia tak menampik masih perlu peningkatan validitas data agar informasi yang tersedia sesuai dengan kenyataan di lapangan.
”Siswa putus sekolah hanya salah satu dari masalah anak tidak sekolah yang didata. Selain itu, ada siswa lulus tapi tak melanjutkan ke jenjang berikutnya dan anak yang belum pernah sekolah,” kata Hasan tentang situasi ini, dalam artikel Angka Putus Sekolah Besar di harian Kompas edisi Selasa (1/3/2022).
Meski sudah ada sejumlah program dari pemerintah pusat dan daerah untuk mendongkrak jangkauan pendidikan, fakta di lapangan masih mendapati anak-anak yang "terlewat" dan harus putus sekolah.
Uluran tangan dari sejumlah kalangan juga bukan tidak ada. Beasiswa, sekolah gratis, dan aneka bentuk dukungan terus saja ada. Namun, tantangan belum usai.
Naskah: Kompas.com/Palupi Annisa Auliani
Semua artikel harian Kompas yang dicuplik dalam tulisan ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data. Adapun tayangan Berkas Kompas dapat disaksikan di Kompas TV
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.