Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ombudsman Soroti Minimnya Partisipasi Buruh dalam Permenaker soal JHT

Kompas.com - 22/02/2022, 13:34 WIB
Vitorio Mantalean,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Ombudsman RI menyoroti terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 yang dianggap minim partisipasi publik.

Dalam aturan itu, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengatur bahwa jaminan hari tua (JHT) baru dapat dicairkan seseorang pada usia 56 tahun atau batas usia pensiun.

Ombudsman menilai, peraturan tersebut sebetulnya sudah ideal dan sesuai dengan amanat Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Namun, kondisi ideal yang diharapkan itu tak cocok dengan realitas di lapangan, di mana banyak buruh sedang berhadapan dengan isu krusial yang tidak bisa ditunda hingga usia pensiun, yaitu bertahan hidup di tengah keadaan finansial yang sulit.

Terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 jadi bukti bahwa dalam proses penyusunan regulasi, publik, dalam hal ini buruh yang terdampak peraturan itu, tak begitu dilibatkan

“Tiga elemen partisipasi ini yang perlu dilakukan oleh setiap pemangku dan pengambil kebijakan: didengar, dipertimbangkan, dan diberitahukan kalau (aspirasinya) tidak diakomodir. Kita semua mendengar berbagai protes buruh, partisipasi ini tidak terlalu optimal dijalankan,” ujar Kepala Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, dalam diskusi virtual di akun YouTube resmi lembaga tersebut, Selasa (22/2/2022).

Baca juga: Serikat Buruh Desak Pemerintah Cabut Aturan Baru JHT dan Minta Menaker Mundur

Robert menegaskan, sebuah kebijakan bukan hanya harus tepat secara hukum, tetapi juga secara sosiologis di masyarakat.

Saat ini, banyak buruh menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dampak pandemi. Di sisi lain, upah minimum naik tak signifikan tahun ini, sedangkan inflasi terus menggerus daya beli mereka.

“Di luar substansi atau isi teks (peraturan), sensitivitas terhadap kondisi empiris, tekanan hidup dari para buruh ini, harusnya menjadi bagian penting. Setiap kebijakan publik harus memperhatikan suasana batin pihak yang terkena dampak kebijakan yang ada,” lanjutnya.

Ombudsman RI memberi rekomendasi senada dengan yang disinyalir akan dilakukan pemerintah dalam waktu dekat, yaitu revisi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 agar lebih peka terhadap kondisi di lapangan.

Anggota Ombudsman RI Hery Susanto berpendapat, peraturan saat ini seakan-akan “memotong jalur”, seolah-olah kondisi di lapangan sudah siap menuju keadaan ideal di mana JHT memang diperuntukkan bagi pekerja di masa pensiun.

“Ada baiknya pemerintah bijak melakukan revisi terhadap penyesuaian-penyesuaian menuju kondisi ideal yang dimaksud, (JHT cair pada) usia 56. Jadi jangan asal potong jalur ke sana, betapapun aturannya sudah ideal, harus disesuaikan kondisi riil bangsa kita,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Istana buka peluang revisi

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menyebut, Presiden Jokowi memahami bahwa para pekerja keberatan dengan aturan baru terkait pencairan dana JHT.

"Bapak Presiden terus mengikuti aspirasi para pekerja dan beliau memahami keberatan dari para pekerja terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua," kata Pratikno dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (21/2/2022).

Baca juga: Diminta Presiden Sederhanakan Aturan JHT, Respons Menaker: Pemerintah Akan Revisi Permenaker

Oleh karenanya, menurut dia, terbuka peluang pemerintah untuk merevisi Permenaker tersebut.

Halaman:


Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com