"Centers for Disease Control and Prevention AS tidak hanya bertanggung jawab terkait penanganan penyakit menular tetapi juga menjalankan fungsi intelijen kesehatan," tuturnya.
Memang pada kasus-kasus bioterorisme, kasus kematiannya terbilang sedikut. Namun dampak dari serangan itu cukup besar, dan menyangkut aspek psikososial masyarakat.
"Kasus meninggalnya sedikit tapi efek ketakutannya serius. Maka institusi seperti CDC penting. Saat ini di Indonesia, Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dipegang oleh seorang eselon 1 di kementerian kesehatan," sebut Anton.
Peneliti Departemen Kimia Universitas Indonesia (UI) Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit mengatakan bioterorisme adalah upaya menebarkan aksi teror menggunakan agen/senjata biologis.
Agen biologis yang biasa digunakan pada bioterorisme itu adalah makhluk hidup atau bagian dari makhluk hidup. Contohnya adalah mikroorganisme, atau jasad renik, seperti bakteri, virus, dan fungi.
Baca juga: Fenomena Asap Pesawat yang Kerap Dihubungkan dengan Teori Konspirasi Senjata Biologis Chemtrail
Menurut Arli Aditya, Uni Soviet dan Jepang diketahui melakukan pengembangan bioterorisme pada era Perang Dunia II.
"Dekrit Stalin tahun 1928 merupakan titik tolak pengembangan bioterorisme Uni Soviet, sementara Jepang disinyalir mengembangkan agen bioterorisme di bawah pimpinan Jenderal Shiro Isihi, untuk keperluan perang pasifik," tuturnya.
"Hanya saja, pada akhirnya, penggunaan agen bioterorisme selama Perang Dunia II tidak pernah terlalu diekspos, sebab dunia terlalu takjub dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki," lanjut Arli Aditya.
Diyakini, pengembangan bioterorisme masih dilakukan.
Dosen Departemen Biokimia FMIPA IPB Bogor, I Made Artika pernah menuliskan soal langkah antisipasi bioterorisme yang perlu dilakukan. Menurut dia, pencegahan dan penanggulangan ancaman bioterorisme harus melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat.
Selain itu, petugas keamanan, petugas kesehatan, dan ilmuan juga menjadi pihak yang harus sadar terhadap potensi ancaman bioterorisme sehingga perlu mendapat informasi cukup.
Baca juga: Ramai Teori Senjata Biologis Chemtrail, Apakah Jejak Asap Pesawat Berbahaya?
"Petugas keamanan perlu dibekali pengetahuan, kapasitas, dan fasilitas memadai untuk mengamankan masyarakat dari ancaman bioterorisme. Ia juga perlu dilengkapi pelindung diri," jelas Artika dalam tulisannya yang dimuat di Harian Kompas pada 27 Juli 2009.
"Pihak keamanan pun perlu membangun jejaring, tentang pengamanan agen biologis berbahaya dan penyelamatan korban, dengan pihak terkait. Selain itu, perlu kecukupan sarana medis, baik peralatan, vaksin, maupun obat yang diperlukan," lanjutnya.
Sementara itu ilmuan dinilai bisa melibatkan diri dengan cara mendeteksi, identifikasi, dan penelusuran asal muasal agen biologis yang mengancam. Ilmuwan pun diminta mengembangkan sarana (obat) penangkal agen bioterorisme.
"Laboratorium yang selama ini menangani dan menyimpan agen biologis yang berpotensi digunakan untuk bioterorisme perlu mengembangkan sistem biosekuriti sehingga agen itu terdata, tersimpan aman, dan terhindar dari kemungkinan keluar," papar Artika.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.