JAKARTA, KOMPAS.com - Bioterorisme menjadi ancaman nyata dunia pertahanan. Salah satu bioterorisme yang pernah menggegerkan dunia adalah serangkaian serangan biokimia di Amerika Serikat yang dipicu oleh serangan penyakit antraks di tahun 2001.
Dari catatan Kompas.com, peristiwa yang dikenal dengan nama "Amerithrax" ini terjadi tak lama setelah serangan teroris 11 September 2001 di kompleks gedung World Trade Center (WTC).
Metode serangan dilakukan lewat kiriman pos yang mengandung bakteri antraks berbentuk bubuk seperti bedak. Surat berisi antraks itu dikirim ke sejumlah jurnalis hingga politisi terkemuka, termasuk senator di tahun 2001.
Beberapa fasilitas strategis dan fasilitas umum di AS juga disebut-sebut mendapat serangan teror antraks saat itu. Akibat serangan itu, sebanyak 5 orang meninggal dunia dan 17 terinfeksi.
Penyidik federal Amerika Serikat menyatakan pihak yang berada di balik serangan itu adalah Dr Bruce Ivins. Mantan peneliti pertahanan biokimia di Institut Penelitian Penyakit Menular milik angkatan bersenjata AS tersebut belakangan bunuh diri.
Catatan sampingan yang menarik adalah bahwa hingga 2006 FBI sempat mencurigai dan mengejar Steven Hatfill, seorang pakar bio-teror lainnya. Tapi dengan munculnya bukti baru dan pergantian kepala penyidikan kecurigaan beralih pada Ivins.
Baca juga: Wabah Virus Corona, Anggota Parlemen Iran Salahkan Bioterorisme AS
Bruce Ivins disebut bekerja sendiri dan bukan bagian dari jaringan teroris. Kasus "Amerithrax" menjadi penyidikan senjata biokimia terbesar sepanjang sejarah AS.
"(Penyidikan) mengungkapkan bahwa almarhum Dr Bruce Ivins bekerja sendiri dalam merencanakan dan menjalankan serangan-serangan ini," begitu pernyataan gabungan dari Depkeh AS, FBI, dan Pelayanan Inspeksi Pos AS pada Februari 2010, seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (18/2/2022).
Penyidikan "Amerithrax" resmi dihentikan pada Februari 2010.
Kasus bioterorisme lain yang cukup menjadi perhatian adalah kasus serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo, Jepang pada 20 Maret 1995.
Pelaku penyerangan serangan ini adalah lima tim kecil dari sekte keagamaan Aum Shinrikyo. Mereka melepas gas sarin yang berbahaya ke udara. Setelah menggunakan obat penangkal racun gas sarin ke-10 orang itu kabur.
Baca juga: Teori Konspirasi Chemtrail dan Penggunaan Senjata Kimia dalam Perang
Sementara itu, para penumpang yang berdesakan di dalam kereta mulai dibutakan dan mengalami kesulitan bernapas lalu berebut mencari pintu keluar.
Akibat dari serangan gas sarin tersebut, 12 orang tewas, 5.500 orang dirawat di rumah sakit dan beberapa dari mereka dalam kondisi koma.
Sebagian besar korban sembuh dari dampak gas sarin itu, tetapi sebagian lainnya menderita dampak permanen pada paru-paru, mata, dan sistem pencernaan.
Sebuah subkomite yang dibentuk Senat AS menyebut jika gas sarin itu dilepaskan dengan cara yang lebih efektif kemungkinan besar puluhan orang akan meninggal dunia.
Usai serangan gas sarin, kepolisian Jepang menggerebek markas sekte Aum Shinrikyo dan menangkap ratusan anggotanya termasuk sang pemimpin Shoko Asahara.
"Contoh nyata dari biochemical terrorism itu adalah kasus Gas Sarin di Subway Tokyo 20 Maret 1995 oleh Shoko Asahara dan di AS ada serangan amplop Anthrax," kata pengamat militer, Anton Aliabbas dalam perbincangan dengan Kompas.com, Jumat (18/2/2022).
Dengan berbagai fenomena dan ancaman pertahanan saat ini, Pemerintah Indonesia diminta untuk mewaspadai bioterorisme. Menurut Anton, Indonesia sudah seperlunya memiliki institusi seperti Centers for Disease Control and Prevention (CDC) milik Amerika Serikat.