Hal tersebut didukung oleh pemulihan baik dari sisi permintaan seperti konsumsi, investasi, dan ekspor, maupun dari sisi produksi yaitu manufaktur, perdagangan, dan konstruksi.
"Ini adalah suatu pemulihan yang cukup cepat hanya lima kuartal kita sudah bisa kembali ke GDP sebelum terjadi musibah Covid-19," tutur Sri Mulyani.
"Banyak negara-negara di tetangga kita ASEAN maupun emerging country di dunia yang belum mencapai pre-Covid level, bahkan mereka GDP-nya masih ada di sekitar 94 sampai 97 persen," lanjutnya.
Baca juga: Fenomena Asap Pesawat yang Kerap Dihubungkan dengan Teori Konspirasi Senjata Biologis Chemtrail
Lebih jauh, Sri Mulyani menjelaskan bahwa Presiden menekankan agar pemulihan ekonomi harus didasarkan pada produktivitas yang tinggi.
Menurut dia, produktivitas yang tinggi hanya bisa muncul dari perbaikan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan kualitas birokrasi serta regulasi.
Hal tersebut yang kemudian menjadi pokok bagi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).
Baca juga: Cerita Kedatangan Jokowi di Saat-saat Terakhir Dorce Gamalama
Pemerintah juga mengidentifikasi pusat-pusat atau tren baru dari pertumbuhan ekonomi yang berasal dari beberapa hal. Pertama, sisi pola hidup normal baru esudah pandemi, terutama berbasis kesehatan.
Kedua, reformasi di bidang investasi dan perdagangan. Transformasi di sektor manufaktur baik itu industri mesin, elektronik, alat komunikasi, kimia, dan hilirisasi mineral menjadi sangat penting untuk menjadi roda atau lokomotif bagi pemulihan ekonomi.
"Ketiga, yang perlu untuk terus ditingkatkan adalah kesadaran ekonomi hijau di mana nilai ekonomi yang berasal dari karbon dan teknologi energi terbarukan akan menjadi sumber atau diandalkan menjadi sumber pertumbuhan yang baru," jelas Sri Mulyani.
"Ini yang akan didukung oleh APBN untuk tahun 2023, di mana kita berharap pertumbuhan ekonomi tadi seperti disampaikan ada dalam range 5,3 hingga 5,9 (persen)," ungkapnya.