JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2023 dengan sangat hati-hati.
APBN mendatang akan disusun dengan tetap memperhatikan ancaman pandemi serta tantangan-tantangan baru seperti inflasi global.
"Oleh karenanya, kebijakan ekonomi makro tahun 2023 akan mendorong pemulihan yang berasal dari sumber-sumber pertumbuhan yang tidak hanya tergantung pada APBN," ujar Sri Mulyani dalam keterangannya di Kantor Presiden, Jakarta, selepas mengikuti Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Rabu (16/2/2022).
Baca juga: Pemerintah Tetapkan 7 Prioritas Rencana Kerja 2023
"APBN tetap akan suportif, namun sekarang peranan dari non-APBN menjadi penting," tegasnya.
Dia menjelaskan, konsumsi investasi ekspor mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Kenaikan ini berasal dari institusi keuangan seperti perbankan.
Menurut Sri Mulyani, saat ini perbankan dengan dana pihak ketiga mencapai Rp 7.250 triliun dan loan to deposit ratio hanya 77 persen memiliki ruang untuk memulai mendukung pemulihan ekonomi dengan menyalurkan kredit.
Baca juga: Jokowi Banggakan Indonesia Bisa Ekspor Mobil Toyota, Apa Kabar Esemka?
"Pertumbuhan kredit saat ini juga sudah mulai pulih dan tumbuh di 5,2 persen, dari sebelumnya mengalami kontraksi pada tahun lalu," katanya.
Kedua, sumber pertumbuhan juga berasal dari pasar modal, dalam hal ini pasar saham dan obligasi.
Pasar saham mencapai Rp 7.231 triliun dan selama ini naik 3,77 persen, sementara pasar obligasi yang mencapai Rp 4.718 triliun naiknya 9,65 persen.
Baca juga: Puan Maharani Tebar Banyak Baliho hingga Bagi Sembako, Mengapa Elektabilitasnya Masih Rendah?
"Bisa menjadi sumber bagi pemulihan ekonomi dengan perusahaan-perusahaan bisa melakukan IPO rights issue maupun mengeluarkan obligasi. Ini karena investor domestik kita sekarang sudah mencapai 7,5 juta investor," ujar Sri Mulyani.
Dia pun mengungkapkan, Indonesia termasuk negara yang pemulihan ekonominya sudah bisa mencapai level sebelum pandemi Covid-19, bahkan di atasnya.
Hal tersebut didukung oleh pemulihan baik dari sisi permintaan seperti konsumsi, investasi, dan ekspor, maupun dari sisi produksi yaitu manufaktur, perdagangan, dan konstruksi.
"Ini adalah suatu pemulihan yang cukup cepat hanya lima kuartal kita sudah bisa kembali ke GDP sebelum terjadi musibah Covid-19," tutur Sri Mulyani.
"Banyak negara-negara di tetangga kita ASEAN maupun emerging country di dunia yang belum mencapai pre-Covid level, bahkan mereka GDP-nya masih ada di sekitar 94 sampai 97 persen," lanjutnya.
Baca juga: Fenomena Asap Pesawat yang Kerap Dihubungkan dengan Teori Konspirasi Senjata Biologis Chemtrail
Lebih jauh, Sri Mulyani menjelaskan bahwa Presiden menekankan agar pemulihan ekonomi harus didasarkan pada produktivitas yang tinggi.
Menurut dia, produktivitas yang tinggi hanya bisa muncul dari perbaikan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan kualitas birokrasi serta regulasi.
Hal tersebut yang kemudian menjadi pokok bagi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).
Baca juga: Cerita Kedatangan Jokowi di Saat-saat Terakhir Dorce Gamalama
Pemerintah juga mengidentifikasi pusat-pusat atau tren baru dari pertumbuhan ekonomi yang berasal dari beberapa hal. Pertama, sisi pola hidup normal baru esudah pandemi, terutama berbasis kesehatan.
Kedua, reformasi di bidang investasi dan perdagangan. Transformasi di sektor manufaktur baik itu industri mesin, elektronik, alat komunikasi, kimia, dan hilirisasi mineral menjadi sangat penting untuk menjadi roda atau lokomotif bagi pemulihan ekonomi.
"Ketiga, yang perlu untuk terus ditingkatkan adalah kesadaran ekonomi hijau di mana nilai ekonomi yang berasal dari karbon dan teknologi energi terbarukan akan menjadi sumber atau diandalkan menjadi sumber pertumbuhan yang baru," jelas Sri Mulyani.
"Ini yang akan didukung oleh APBN untuk tahun 2023, di mana kita berharap pertumbuhan ekonomi tadi seperti disampaikan ada dalam range 5,3 hingga 5,9 (persen)," ungkapnya.
Sementara itu, dinamika lain dalam kondisi global yang harus diwaspadai menurutnya adalah lonjakan inflasi dunia, terutama di negara-negara maju.
Seperti diketahui, Amerika Serikat mencatatkan inflasi sebesar 7,5 persen pada bulan Februari ini dan hal tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas.
"Tentu ini akan memberikan dampak spill over atau rambatan yang harus diwaspadai yaitu dalam bentuk capital flow akan mengalami pengaruh negatif dari kenaikan suku bunga," katanya.
Baca juga: Luka di Kedung Ombo dan Tiada Maaf bagi Soeharto...
"Dan juga dari sisi yield atau imbal hasil dari surat berharga, yang tentu akan mendorong dari dalam hal ini biaya untuk surat utang negara," jelasnya.
Selain di negara-negara maju, inflasi juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Argentina dengan inflasi mencapai 50 persen, Turki mencapai 48 persen, kemudian Brasil 10,4 persen, Rusia 8,7 persen, dan Meksiko 7,1 persen.
"Kenaikan inflasi yang tinggi tentu akan bisa mengancam proses pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat tentu akan tergerus. Ini yang akan diwaspadai," tambah Sri Mulyani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.