Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemelut Wadas dan Memori Kelam Waduk Kedung Ombo

Kompas.com - 15/02/2022, 07:17 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi kekerasan aparat keamanan yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah soal penolakan warga atas penambangan batu andesit untuk Bendungan Bener seolah membangkitkan ingatan. Kejadian serupa juga dialami penduduk dalam proyek Waduk Kedung Ombo pada 1984 sampai 1991.

Proyek waduk Kedung Ombo bahkan masih menyisakan luka di hati masyarakat yang rumahnya atau lahannya diambil negara dengan alasan pembangunan.

Proyek itu dimulai pada 1984 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1991.

Tujuan pembangunan waduk itu adalah untuk pengendalian banjir dan irigasi di daerah hilir, seperti Grobogan, Demak, Kudus, dan Pati. Waduk juga difungsikan sebagai pembangkit listrik berkekuatan 22.5 Megawatt.

Pembangunan itu memerlukan pengorbanan. Waduk yang terletak di tiga kabupaten, yakni Boyolali, Grobogan, dan Sragen, itu menenggelamkan 37 desa yang sebelumnya dihuni 5.268 keluarga atau lebih dari 15.000 jiwa.

Baca juga: Temuan Komnas HAM soal Kekerasan Aparat ke Warga Wadas: Ada yang Ditendang, Dipukul Kepalanya

Sejak awal proses pembebasan lahan, banyak kelompok masyarakat yang tidak setuju. Saat itu sebagian besar dari mereka hidup sebagai petani.

Alasan mereka karena nilai ganti rugi yang diberikan pemerintah tidak sepadan yakni sekitar Rp 700 per meter persegi untuk tanah pekarangan kelas satu, Rp 400 per meter persegi untuk tanah sawah, dan Rp 325 per meter persegi untuk tanah ladang.

Padahal menurut Soeparjo Rustam yang saat itu menjabat Menteri Dalam Negeri, besaran ganti rugi bagi penduduk adalah Rp 3.000 per meter persegi. Maka dari itu banyak penduduk setempat yang menolak.

"Padahal harga tanah di daerah luar genangan di dekat desa kami Rp 12.000 per meter pak," kata seorang warga.

Baca juga: Komnas HAM Minta Kapolda Jateng Beri Sanksi pada Aparat yang Lakukan Kekerasan di Desa Wadas

Hingga mendekati proses akhir pembangunan dan penggenangan, ratusan penduduk memilih bertahan di wilayah proyek waduk. Alhasil pemerintah daerah Boyolali sampai menerjunkan tim untuk membujuk warga supaya pindah dan menerima ganti rugi.

Intimidasi juga dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah Pembangunan Waduk Kedung Ombo kepada penduduk. Bahkan aparat keamanan melontarkan tuduhan kalau kelompok masyarakat yang menolak pindah sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saat itu dilaporkan ada 25 orang penduduk yang kabur ke hutan karena takut usai dicap PKI. Mereka adalah bagian dari penduduk yang menolak menyerahkan tanahnya dengan nilai ganti rugi yang tidak sepadan.

Lebih memilukan pengakuan dari enam orang warga Kecamatan Kemusu ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka mengatakan dipanggil dan diinterogasi non-stop oleh aparat kelurahan hingga Koramil, lantas Kartu Tanda Penduduk mereka secara sepihak diberi label eks tahanan politik.

Padahal pada penduduk itu sama sekali tidak pernah mengenal paham Komunisme.

"Kalau sudah dicap PKI atau eks tapol, kami bisa apa Pak?" kata seorang warga yang mengadu.

Baca juga: Kunjungi Desa Wadas, Ganjar Minta Maaf dan Dengarkan Keluhan Warga Soal Izin lokasi Tambang

Yang kemudian membuat penduduk semakin susah adalah perangkat pemerintah hingga aparat desa ada yang menyunat uang ganti rugi. Ada juga yang meminta warga untuk memberikan mereka sejumlah uang dengan nilai tertentu, dan bahkan ada yang kabur membawa duit ganti rugi itu.

Bahkan menurut penduduk saat itu ada lurah yang mengancam penduduk yang menolak menyerahkan surat tanah maka akan dipenjara selama tiga bulan, didenda Rp 10.000, dan hak tanah mereka dicabut setelah bebas. Bahkan ada juga praktik pemalsuan surat pelepasan hak atas tanah yang mengatasnamakan penduduk setempat dengan hanya membubuhkan cap jempol.

Pada hari peresmian waduk, 18 Mei 1991, masih ada sekitar 600 keluarga yang menolak pindah. Mereka bertahan di daerah genangan dan menuntut ganti rugi yang lebih wajar.

Saat peresmian, Presiden Soeharto mengingatkan, warga yang belum mau pindah jangan menjadi penghalang dan menjadi kelompok yang mbalelo atau pembangkang.

Baca juga: KSP Akan Sampaikan Unek-unek Warga Wadas ke Jokowi

”Saya yakin mereka itu dengan sendirinya akan bisa melaksanakan. Karena kalau mempertahankan, akan sengsara terus. Hari depannya tak ada. Mempertahankan berarti memperpanjang kesengsaraan karena tidak ada prospek untuk memperbaiki hidup di kemudian hari, baik untuk dirinya maupun untuk anak cucunya,” ujar Soeharto saat itu.

Pada 2001, penduduk yang tergusur menuntut Gubernur Jawa Tengah membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti rugi tanah. Akan tetapi, Pemprov dan kabupaten berkeras masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah telah meminta pengadilan negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut.

Berita ini sudah tayang di surat kabar KOMPAS edisi 18 Juni 1987 dan 19 Mei 1991 dengan judul: "Kasus Tanah Waduk Kedung Ombo: Dituduh PKI, 25 Penduduk Sembunyi Di Hutan", dan "Presiden Resmikan Waduk Kedungombo: Yang Belum Mau Pindah Jangan Sampai Jadi Kelompok "Mbalelo".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com