SEJARAH telah memberikan hikmah penting bagi arti kepemimpinan di Indonesia. Dalam banyak hal, sejarah menghasilkan beragam nilai-nilai kepemimpinan yang menjadi ciri khas negara kita.
Beragam nilai yang diwariskan terkristalkan menjadi satu nilai kepemimpinan penting yang ada di Indonesia.
Sampai saat ini, baik langsung maupun tidak langsung, nilai tersebut masih dipraktikkan oleh pemimpin kita.
Dan terbukti, pada Desember 2021 lalu, Indonesia masuk sebagai salah satu negara terbanyak soal vaksinasi.
Itu adalah hasil yang menakjubkan, buah dari berbagai kerja sama dan kolaborasi berbagai pihak.
Memberikan vaksin ke 272 juta rakyat Indonesia bukanlah hal yang mudah dengan berbagai dinamika, terutama banyaknya hoaks yang beredar. Terlebih, itu dilakukan dalam waktu kurang lebih satu tahun.
Pencapaian di atas menunjukkan bahwa satu nilai tersebut berperan penting. Nilai itu agaknya subtle, namun selalu muncul di permukaan dan kita sering mempraktikkannya.
Nilai tersebut bukan hasil dari fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, melainkan kristalisasi dari apa yang terjadi berabad-abad lalu.
Lagi-lagi, kita berhutang besar pada sejarah yang telah membawa Indonesia menjadi negara sebesar ini.
Saat membaca kembali sejarah bangsa, narasi persatuan selalu bergema. Setiap pemimpin dalam suatu kerajaan selalu mendambakan persatuan.
Sebuah imajinasi tentang nusantara yang bersatu dalam satu pemerintahan yang adil, makmur dan inklusif.
Gagasan ini menunjukkan bahwa pemimpin Indonesia visioner untuk mempersatukan pulau-pulau di negara kita.
Raja terakhir Kerajaan Singhasari, Kertanegara, memiliki angan-angan yang disebut cakrawala mandala dwipantara. Kertanegara memimpikan Singhasari mempersatukan nusantara.
Dalam suasana kerajaan, misi ini terdengar wajar karena sebagaimana kerajaan lainnya dalam sejarah, setelah kondisi internal stabil, mereka akan melihat ke luar.
Misi dari Kertanegara ini menjadi inspirasi bagi Gajah Mada, seorang figur yang namanya sudah familiar.
Melalui Sumpah Palapa yang sangat terkenal, dia berjanji untuk mempersatukan nusantara di bawah satu panji.
Dan akhirnya, Gajah Mada berhasil melaksanakan sumpah itu di bawah kepemimpinan seorang raja muda nan arif dan bijak, Hayam Wuruk.
Keberadaan dua figur ini meneguhkan Kerajaan Majapahit sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di nusantara.
Pencapaian Kerajaan Majapahit terbilang wajar dalam konteks politik. Sejarah memaklumi ekspansi pengaruh seperti kerajaan terdahulu.
Namun begitu, Kerajaan Majapahit tidak hanya memengaruhi daerah kekuasaannya secara politik, tetapi juga kultural.
Kerajaan Majapahit mengedepankan sikap multikultur dan memimpin dengan toleransi serta mempertimbangkan nilai kearifan lokal di daerah.
Berabad-abad kemudian, ketika Indonesia dijajah Belanda, banyak tokoh berupaya yang mempersatukan bangsa.
Di masa ini, tokoh pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan lainnya berupaya mempersatukan Indonesia tidak hanya secara politik, tetapi kultural.
Mereka menyadari bahwa keberagaman Indonesia adalah kekuatan hebat yang harus dimaksimalkan.
Sumpah Pemuda menjadi suatu milestone akan terbentuknya narasi tunggal, yaitu Indonesia. Sekat kultural hilang.
Tak jadi masalah apakah seseorang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua karena narasi yang berlaku adalah bahwa kita sekarang bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang satu, Indonesia.
Para tokoh pendiri bangsa berperan besar terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka memimpin dengan arif, bijak, penuh wawasan, dan tentunya dengan gaya mereka sendiri.
Bung Hatta, misalnya, dia bukan tipikal pemimpin seperti Bung Karno yang berapi-api. Beliau lebih metodis.
Namun, perbedaan ini tak menjadi sebuah masalah karena itulah gaya mereka yang membuat orang menjadi kagum.
Poin penting dari sejarah Indonesia adalah bahwa para figur bangsa telah mewariskan serta melestarikan gaya kepemimpinan otentik yang hanya dimiliki oleh Indonesia.
Kepemimpinan yang mengedepankan gotong royong dan persatuan sebagai nilai dan fondasi utama.
Agaknya bisa diamini pendapat Christina Osborne (2015) yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk membuat sebuah lingkungan di mana semua orang mengetahui apa kontribusi yang diharapkan dan berkomitmen untuk melakukan pekerjaan yang hebat.
Para pemimpin Indonesia mengetahui hal itu. Mereka melakukan sesuatu berdasarkan apa yang jadi kemampuannya.
Mereka bekerja sama dan berkolaborasi dengan banyak orang agar misinya tercapai. Oleh sebab itu, para pemimpin bangsa dikagumi orang banyak.
Bicara soal kolaborasi di konteks saat ini, menurut survei dari Salesforce 2021, sebanyak 76 persen pekerja mengatakan kolaborasi akan berdampak langsung pada budaya perusahaan.
Selain itu, ketika masa pandemi berakhir, hal yang didamba-dambakan oleh pekerja saat kembali ke kantor adalah keinginan kolaborasi, yang menurut survei LinkedIn 2021 mencapai 63 persen.
Namun, kolaborasi masih jadi hal yang sulit bagi banyak pihak. Misalnya, di survei Deloitte 2019 lalu, hanya 7 persen perusahaan yang siap untuk bekerja lintas fungsi dan bidang.
Selain itu, ketika bicara kolaborasi sektor kesehatan dan non-kesehatan, Alderwick, et.al (2021) tidak menemukan bukti bahwa kolaborasi antara sektor kesehatan dan organisasi non-kesehatan memperbaiki luaran kesehatan.
Dari riset di atas, kolaborasi terlihat sulit dan menantang. Akan tetapi, negara kita sangat mudah melakukan kolaborasi dengan banyak pihak, khususnya dalam situasi pandemi saat ini.