Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belum Genap Sebulan Disahkan, Kini UU IKN Digugat ke MK

Kompas.com - 03/02/2022, 05:40 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) menjadi undang-undang belum genap sebulan. Namun, kritik terhadap UU tersebut terus bermunculan.

RUU IKN disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 18 Januari lalu. UU yang disahkan terdiri dari 11 bab dan 44 pasal yang memuat segala urusan terkait pemindahan ibu kota.

Pembahasan RUU ini terbilang cepat karena hanya memakan waktu 43 hari, terhitung sejak 7 Desember 2021.

Hingga kini, UU itu masih menunggu tanda tangan dari presiden untuk selanjutnya diundangkan.

Baca juga: Pembangunan Fisik IKN Nusantara Disebut Mulai Pertengahan 2022

Adapun kritik terhadap UU IKN datang dari berbagai pihak. Mereka mempersoalkan proses pengesahan RUU, hingga isi dari UU tersebut.

Digugat ke MK

Terbaru, UU IKN digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah warga yang menamakan diri sebagai Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).

PNKN sendiri digawangi oleh mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua, mantan anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara, politikus Agung Mozin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Muhyiddin Junaidi, dan 7 orang lainnya.

Dilansir dari dokumen yang diunggah laman resmi MK, gugatan itu didaftarkan pada 2 Februari 2022.

Para pemohon mengajukan gugatan uji formil atas UU IKN lantaran pembentukan UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Pemerintah Cadangkan 42.000 Hektar Lahan untuk Pembangunan IKN

Pembentukan UU IKN dianggap tidak melalui perencanaan yang berkesinambungan, mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunan.

Para pemohon juga menilai, pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi substansial ibu kota negara ke peraturan pelaksana.

"Dari 44 pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana," tulis pemohon.

Selain itu, menurut para pemohon, UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Pemohon mengutip hasil jajak pendapat salah satu lembaga survei yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat menolak pemindahan ibu kota negara.

Sejalan dengan itu, tidak ada keterbukaan informasi pada tiap tahapan pembahasan UU IKN. Berdasar penelusuran pemohon, dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya tujuh yang dokumen dan informasinya bisa diakses publik.

"Representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama kota negara RI yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainnya dalam pembahasannya," ujar para pemohon.

Baca juga: UU IKN Digugat ke MK, Faldo Maldini: Promosi Gratis Ibu Kota Baru

Mengacu pada hal-hal tersebut, pemohon menilai bahwa pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011.

Oleh karenanya, MK diminta menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.

Dikutip dari Kompas TV, Rabu (2/2/2022), Koordinator PNKN, Marwan Batubara mengatakan, proses penyusunan hingga pembentukan UU IKN tidak berkesinambungan.

"Kami di sini baru memohon uji formil dan belum uji materil, terkait uji materil akan kami susulkan," kata Marwan.

"Intinya bahwa dalam menyusun dan membentuk undang-undang ini tidak terdapat proses yang berkesinambungan," tuturnya.

Lebih dari satu gugatan

Sebelumnya, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin telah lebih dulu menyampaikan rencananya menggugat UU IKN ke MK.

Gugatan bakal dilayangkan Din setelah UU tersebut resmi diundangkan.

"Ya, akan kita gugat. Tapi menunggu diundang-undangkan dulu," kata Din dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (24/1/2022).

Baca juga: Ini 3 Tahap Pembangunan IKN hingga 2045, Jokowi yang Pertama Pindah pada 2024

Menurut Din, dalam kondisi pandemi seperti saat ini, tidak semestinya pemerintah memindahkan ibu kota ke wilayah lain.

"Kala banyak rakyat susah mencari sesuap nasi, dan tidak ada urgensi sama sekali apalagi pemerintah memiliki hutang tinggi, (pemindahan ibu kota) adalah keputusan/kebijakan yang tidak bijak," ucap Din.

Din mengaku, selain dirinya, ada sejumlah pihak yang bakal bergabung untuk menggugat UU tersebut.

Ditolak sebelum disahkan

Sebelum disahkan, RUU IKN telah mendapat penolakan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Penolakan itu disampaikan PKS dalam rapat paripurna DPR, Selasa (18/1/2022).

Kendati demikian, RUU IKN tetap disahkan menjadi undang-undang.

Baca juga: IKN Nusantara Ditargetkan Masuk 10 Besar Kota Paling Layak Huni di Dunia Tahun 2045

Presiden PKS Ahmad Syaikhu baru-baru ini membeberkan alasan partainya menolak UU tersebut. Syaikhu mengatakan, PKS tak setuju karena RUU IKN bermasalah, baik secara formil atau prosedural, maupun meteriil atau substansial.

"PKS memandang bahwa RUU IKN dibahas secara tidak memadai, secara ugal-ugalan, secara serampangan dan secara asal-asal," kata Syaikhu dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PKS 2022, Rabu (2/2/2022)

Menurut Syaikhu, pemerintah tidak seharusnya tergesa-gesa menyusun rencana pemindahan ibu kota.

Presiden dan pemerintah juga semestinya membuka ruang dialog dengan masyarakat sebelum mengambil keputusan tersebt.

Penting bagi masyarakat berkontribusi dan memberikan saran untuk pemerintah. Jika pemerintah memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan masukan publik, kata Syaikhu, dikhawatirkan keputusan yang diambil justru tidak bijak.

"Ini bukan sekadar properti, proyek properti, tetapi ini adalah mega proyek pembangunan peradaban bangsa," tutur mantan Wakil Wali Kota Bekasi itu.

Baca juga: Alasan PKS Tolak UU IKN: Cacat Formil-Materiil hingga Serampangan

Dalam rencana pemindahan ibu kota, lanjut Syaikhu, seluruh variabel penyertanya harus diperhitungkan. Mulai dari dampak ekonomi, kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hingga dampak terhadap lingkungan.

"Banyak variabel yang harus dipertimbangkan, terlebih lagi kita hari ini masih sedang menghadapi gelombang ketiga Covid-19," kata Syaikhu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasional
Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Nasional
Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Nasional
Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Nasional
PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

Nasional
Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com