Itu berarti, keluarga bertanggung jawab membantu seorang anak untuk belajar dan berlatih untuk hidup bertoleransi: menghargai perbedaan dan belajar hidup serta bekerja sama dengan orang lain.
Sebetulnya, upaya itu tidak sulit karena secara naluriah setiap keluarga menghendaki yang terbaik bagi anak-anaknya.
Sementara itu, anak-anak secara naluriah bersifat tulus hati dan bersedia bermain dengan rekan seusianya, tanpa membedakan-bedakan suku, ras, dan agama.
Jadi, keluarga dapat secara bertahap menanamkan sikap menghargai perbedaan dan toleransi beragama kepada anak-anaknya melalui cara-cara sederhana.
Anak-anak mesti dibiasakan dan dilatih dalam kepekaan terhadap situasi sosial di sekitar melalui pengalaman riil sehari-hari.
Sesungguhnya anak-anak Indonesia juga dapat dengan mudah belajar bagaimana para orangtua mereka mempraktikkan nilai kearifan lokal: bergotong-royong dalam konteks toleransi beragama.
Di mana-mana di Indonesia, kita menyaksikan para pemeluk suatu agama hidup berdampingan dengan secara harmonis dengan pemeluk agama lain.
Mereka saling menghormati dan membantu satu sama lain secara tulus hati.
Ketika ada pemeluk agama Hindu melakukan kegiatan di Pura, umat Islam menghormati dengan meminimalkan panggilan untuk shalat (menyuarakan adzan dengan tidak menggunakan speaker).
Ketika umat Nasrani merayakan Natal, misalnya, warga Muslim ikut membantu menjaga keamanan dan mengatur lapangan parkir.
Begitu pula sebaliknya, ketika umat Islam melakukan ibadah Idul Fitri, misalnya, warga Nasrani yang menjaga keamanan dan mengatur parkir.
Lebih daripada itu, dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia, toleransi beragama dilegitimasi oleh Konstitusi: UUD 1945.
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjadi landasan hukum yang memungkin setiap warga Negara Indonesia berhak dan bebas menjalankan agama yang dianutinya.
Sejatinya, dari sisi doktrin agama, sisi sosial-budaya, dan hukum, warga bangsa Indonesia tidak memiliki halangan berarti untuk mempratikkan toleransi hidup beragama.
Makanya berita intoleransi yang belakangan ini beredar sepertinya adalah bentuk penyimpangan atau defiasi.
Artinya, seorang berperilaku intoleran karena memiliki pemahaman yang keliru tentang doktrin agama.
Boleh jadi, ia bersikap intoleran karena mengalami kemerosotan nilai-nilai sosial-budaya.
Dan, boleh jadi juga, orang bersikap intoleran karena menderita ganguan jiwa atau gangguan kepribadian.
Dalam perspektif demikian, maka penanganan terhadap oknum-oknum pelaku tindak intoleransi tidak cukup dilakukan melalui pendekatan hukum saja.
Kita perlu mengembangkan pendekatan multidisilpin atas mereka. Yaitu, mereinternalisasi doktrin agama, merevitalisasi nilai sosial-budaya, dan melakukan pemeriksaan kejiwaan supaya yang bersangkutan mendapatkan penanganan dan pengobatan sesuai jenis gangguan jiwa yang dialaminya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.