Prinsip Islam mengajarkan pemeluknya untuk toleransi, kerukunan dan kedamaian di manapun dan kapanpun.
Islam menekankan perlunya membangun harmoni dan toleransi, harmoni dan perdamaian antarsesama Muslim dan antar umat beragama masyarakat.
Dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 256, ketentuan Allah telah dinyatakan tentang tidak adanya paksaan dalam memeluk Islam.
Menurut M. Q. Shihab (2007), seseorang yang sukarela dan sadar memilih satu agama, maka dia wajib menjalankan ajaran agama dengan sempurna.
Mengakui keberadaan agama lain tidak hanya berarti menghormati kebenaran agama yang lain, melainkan juga menjamin bahwa orang beragama lain mempratikkan agamanya dan hidup berdampingan secara damai dengan kita.
Dalam masalah iman Islam dan ibadah, Islam secara tegas melarang melakukan sebagian dan ritual non-Muslim.
Hal ini dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al Kafirun Ayat 6 yang berbunyi “Untukmu agamamu dan untukku agamaku".
Demikianlah Islam memandang toleransi antar komunitas umat beragama.
Suweta yang dikutip N. Naim and A. Sauqi (2008) menjelaskan, “Jika kita menginginkan kesatuan dunia, pemuka agama harus memiliki pandangan universal, peradaban dunia hanya akan tumbuh atas dasar kerja sama di antara semua agama".
Gimin Edi Susanto (2008) mengatakan agama Buddha mengajarkan kebaikan.
Mengutip Dhamapada 5, Susanto menulis bahwa sang Buddha pernah berkata: "Kebencian tidak akan pernah berakhir ketika dibalas dengan kebencian, tapi kebencian akan berakhir dengan cinta. Ini satu hukum abadi".
Doktrin toleransi menjadi bagian tidak terpisahkan dari doktrin Kekristenan. Konsili Vatikan II (1965), misalnya, menyatakan bahwa pribadi manusia memiliki hak atas kebebasan beragama.
Kebebasan ini berarti bahwa semua orang harus kebal dari paksaan oleh individu atau kelompok sosial dan kekuatan manusia, sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dipaksa untuk bertindak dengan cara yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri, baik secara pribadi atau di depan umum, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, dalam batas-batas yang ditentukan.
Konsili II selanjutnya menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama didasarkan pada martabat pribadi manusia sebagaimana martabat ini diketahui melalui firman Allah yang diwahyukan dan oleh akal budi itu sendiri.
Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama ini adalah untuk diakui dalam hukum tata negara di mana masyarakat diatur dan dengan demikian menjadi hak sipil.
Aloys Budi Purnomo (2021) menyatakan bahwa toleransi tidak lain adalah manifestasi dari iman yang berlaku dalam setiap tindakan orang beriman.
Agama diperlukan untuk mewujudkannya keyakinan pada tingkat praktis setiap hari.
Perwujudan realistis dari keyakinan adalah melakukan kebaikan, harmonis, saling pengertian dan saling menerima.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap agama sangat menganjurkan kehidupan yang baik, harmoni dan saling menghormati antarpemeluk agama.
Itu berarti semua umat beragama dipanggil dan diutus untuk bertoleransi: saling menghargai, saling menghormati dan saling mengasihi dengan menggunakan semua bakat dan talentanya untuk kemanusiaan.
Perilaku toleransi antarumat beragama tidak bisa muncul tiba-tiba, tetapi harus ditanamkan, ditumbuhkembangkan dan dipelihara sejak dini, semenjak seseorang masih sebagai anak-anak.