Menurut Bonnie dalam tulisannya, pada awalnya istilah 'Bersiap' dipakai para pejuang Indonesia sebagai aba-aba perang untuk menyerang orang-orang Belanda yang baru tiba di Kamp Jepang.
Kalangan sejarawan menyebut ledakan kekerasan lokal ini sebagai revolusi sosial yang bermuatan ketegangan struktural sejak zaman kolonial dan pendudukan Jepang.
Alasan yang sama kemudian berlaku untuk kekerasan terhadap warga negara Belanda setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945.
Baca juga: Diambil Alih Indonesia dari Singapura di Era Jokowi, Apa Itu Flight Information Region atau FIR?
Di Indonesia, istilah 'Bersiap' dalam konteks itu justru tidak dikenal.
"Jika kita menggunakan istilah 'Bersiap' secara umum untuk kekerasan kepada Belanda selama periode tersebut, hal ini berkonotasi sangat rasis," tulis Bonnie dalam opini tersebut.
Terlebih, lanjut Bonnie, istilah 'Bersiap' selalu menggambarkan orang Indonesia yang primitif dan tidak beradab sebagai pelaku kekerasan—gambaran yang tidak sepenuhnya bebas dari kebencian rasial.
Padahal, akar masalah terletak pada ketidakadilan yang diciptakan kolonialisme, sebut Bonnie, yang membentuk struktur masyarakat hierarkis berbasis rasisme serta menyelimuti eksploitasi daerah jajahannya.
Rijksmuseum menampik anggapan bahwa mereka "melakukan penyensoran dan pelarangan" atas istilah 'Bersiap'.
Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits mengatakan, tulisan Bonnie atas pendapat pribadi dan "tak diakui" oleh Museum Kerajaan Belanda.
Dalam email kepada BBC Indonesia, juru bicara museum menyebut bahwa "di antara jejaring ahli dan organisasi yang terlibat dalam pameran Revolusi! dan tim kurator yang terdiri dari dua kurator tamu dari Indonesia dan dua kurator Belanda, juga ada diskusi tentang terminologi ini (Bersiap)”.