Di sinilah, kata Yayan, isi rekaman CVR memegang peranan besar.
"Ini akan menjadi kotak pandora yang melengkapi semua temuan selama ini atas kecelakaan tersebut," kata pemerhati penerbangan, Yayan Mulyana, Rabu (31/3/2021).
Bila suasananya genting dan benar-benar tak terkendali, instrumen ini seharusnya akan merekam situasi mencekam di dalam kokpit.
Dalam mitologi Yunani, kotak pandora adalah penyebutan untuk sebuah kotak atau peti yang kita tidak tahu apa isinya ketika nantinya dibuka, dan sangat mungkin memberi kejutan atau tak sesuai ekspektasi.
"(Temuannya nanti) akan sangat menarik. Akan ketahuan mengapa tidak ada komunikasi apa pun dari kokpit ke tower (ATC) pada detik-detik terakhir," ungkap Yayan.
Baca juga: Kronologi, Fakta, dan Misteri Jatuhnya Boeing 737-500 Sriwijaya Air SJY 182
Situasi tak terkendali dan genting yang terekam CVR dan sempat muncul ke publik pernah terjadi antara lain dalam kecelakaan pesawat Adam Air yang jatuh di Selat Makassar pada 1 Januari 2007.
"Ini yang belum bisa kita analisa karena isi rekaman CVR memang belum diungkap ke publik sampai saat ini," kata Yayan, Minggu (9/1/2022) malam.
Dari CVR akan bisa diketahui perintah apa yang diberikan pilot ke kopilot selama penerbangan, percakapan di antara mereka, termasuk suara-suara instrumen di dalam kabin.
Menurut Yayan, perbincangan di dunia penerbangan atas kecelakaan ini terutama menyoroti ketiadaan seruan darurat "mayday" dari kokpit pesawat. Ini jauh berbeda dengan kecelakaan Adam Air yang rekaman CVR-nya sempat beredar luas beberapa waktu lalu.
Yayan menyebut, mungkin saja CVR tak mendapati suara pilot dan kopilot. Ini pun kemungkinan penjelasannya beragam.
"Kalau ceklak-ceklik suara instrumen terekam tapi tak ada suara pilot dan kopilot, bisa jadi salah satu pingsan, keduanya pingsan, atau mereka terlalu sibuk mengendalikan pesawat," ungkap Yayan tentang kemungkinan pertama.
Lain lagi, lanjut Yayan, bila benar-benar tak ada suara di CVR. Meski kecil kemungkinannya, tak tertutup kemungkinan ada kerusakan sekalipun seharusnya kemungkinan untuk itu sangat kecil.
Bila kerusakan memang ada, itu seharusnya terpantau sejak pesawat belum mengudara dan ada catatan di log penerbangan.
"Kebijakan go atau no-go ketika ada temuan begitu memang beda antar-maskapai. Kalaupun boleh go, ada syarat bahwa perbaikan dilakukan segera, ada batas waktunya, dan sampai itu dijalankan maka pesawat tak boleh terbang lagi," tegas Yayan.
Kalau betul ada kerusakan dan tak ada catatan di darat, menurut Yayan persoalannya bergeser ke soal kedisplinan dan protokol standar.
Bagaimana jika kedua kemungkinan di atas tidak terjadi tapi tetap tak ada suara terekam di CVR?
"Kalau enggak ada sama sekali (berarti) itu deliberately dimatikan," ujar Yayan lugas.
Bila ini yang terjadi, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah kapan alat itu dimatikan.
Di kokpit, sebut Yayan, ada saklar pemutus (circuit breaker) untuk mematikan CVR. Bila ini yang terjadi, seharusnya FDR mendapatinya dalam rekaman perubahan instrumen pesawat selama penerbangan.
Persoalannya, imbuh Yayan, peristiwa benda jatuh adalah proses. Bila peristiwa terjadi di dimensi dua dimensi seperti naik sepeda atau mengendari mobil, tidak sempat membuat seruan saat terjatuh masih dimungkinkan.
Namun, untuk pesawat, ada dimensi ketinggian yang seharusnya memberi ruang bersuara—apa pun itu—saat proses jatuh berlangsung.
"RTB pesawat (return to base). Mendarat darurat. Drop. (Seharusnya) ketahuan pilot lapor. Ada proses. Adam Air begitu, terpantau usaha. Yang kemarin tidak ada. Itu yg jadi sebab kenapa orang penasaran," tutur Yayan.
Setahun telah lewat semenjak kecelakaan pesawat Boeing 737-500 yang digunakan maskapai Sriwijaya Air berkode penerbangan SJY 182 pada 9 Januari 2021.
Sejauh ini, baru dua dokumen—laporan awal investigasi dan pernyataan sementara pertama—atas investigasi kecelakaan Sriwijaya Air SJY 182 yang menelan 62 korban jiwa yang sudah dipublikasikan.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengeluarkan laporan sementara (prelimanary report) kecelakaan pesawat Boeing 737-500 PK-CNC Sriwijaya Air SJY-182 pada Rabu (10/2/2021).
Dua rekomendasi telah diterbitkan pula oleh KNKT terkait kecelakaan ini ditujukan ke Diretktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, dalam laporan awal tersebut, yaitu:
UPRT adalah kependekan dari upset prevention and recovery training. Dalam istilah penerbangan, upset berarti situasi pesawat bertingkah tidak normal bahkan tak terkendali.
Berdasarkan itu, UPRT adalah pelatihan bagi para pilot untuk mencegah dan menangani kondisi pesawat upset.
Adapun CASR pada dasarnya adalah protokol standar operasional pesawat yang harus dijalankan oleh pilot, kru kabin, dan kru darat yang memeriksa kondisi pesawat.
Berikut ini laporan awal KNKT atas kecelakaan Boeing 737-500 PK-CLC Sriwijaya Air SJY 182:
Dari laporan awal di atas, autopilot diketahui sudah aktif di ketinggian 1.980 kaki atau sekitar 604 meter. Pilot sempat meminta perubahan arah ke kanan sebesar 0,75º dan dikabulkan.
Menara pengawas penerbangan (ATC) kemudian meminta Sriwijaya Air SJY 182 untuk tak terbang melebihi ketinggian 11.000 kaki karena ada pesawat lain di lintasan yang sama.
Di ketinggian 10.600 kaki, terpantau pesawat mulai berbelok ke kiri, disusul autopilot tak aktif lagi di ketinggian 10.900 kaki. Pada saat inilah ketinggian pesawat terpantau turun dan hilang dari radar pada pukul 14.40.37 WIB.
ATC disebut beberapa kali mencoba menelepon, mengaktifkan dan memanggil frekuensi darat, serta memantau pilot di pesawat lain di sekitar jalur penerbangan Sriwijaya Air SJY 182.
"Semua upaya tidak berhasil mendapatkan tanggapan dari pilot SJY 182," tulis laporan tersebut.
Pada pukul 14.55 WIB, penyedia layanan lalu lintas udara (ATS) melaporkan kejadian ini ke Basarnas dan pada pukul 15.42 WIB menyatakan SJY 182 ada di fase ketidapastian (INCERFA). Status pesawat dalam fase bahaya (DETRESFA) dideklarasikan pada pukul 16.43 WIB.
Dua rekomendasi terkait protokol keselamatan—seperti tertulis di awal bagian ini—terbit dari hasil investigasi awal KNKT.