JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana menggunakan vaksin Nusantara sebagai salah satu jenis vaksin untuk booster vaksinasi Covid-19. Rencana itu disebut akan direalisasikan pada 2022.
Namun, berdasarkan pemberitaan Kompas.com sebelumnya, pemerintah sudah pernah sepakat jika pengembangan vaksin yang diinisiasi Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto ini bukan untuk tujuan komersial.
Hal itu tertuang dalam nota kesepahaman yang diteken sejumlah pihak saat itu.
Baca juga: Kilas Balik Polemik Vaksin Nusantara: Dikritik Peneliti dan Kini atas Perintah Jokowi Jadi Booster
Penandatanganan kesepahaman penelitian berbasis pelayanan menggunakan sel dendritik itu diteken pada 19 April 2021 yang dihadiri Jenderal TNI Andika Perkasa yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito.
Penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan imunitas terhadap virus SARS-CoV-2 itu digadang-gadang tidak untuk dikomersialkan.
"(Penelitian) bersifat autologus yang hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar," demikian keterangan tertulis Dinas Penerangan Angkatan Darat (Dispenad).
Baca juga: Vaksin Nusantara Dipertimbangkan Jadi Booster, Ini Deretan Pejabat yang Sudah Disuntik
Penelitian ini nantinya akan dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.
Selain itu, penelitian ini diyakini akan memedomani kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Tak hanya itu, penelitian ini juga bukan kelanjutan dari penelitian vaksin Nusantara yang terhenti sementara karena kaidah ilmiah yang tak terpenuhi.
Baca juga: Disiapkan Jadi Booster, Vaksin Nusantara Ternyata Tak Bisa Diproduksi Massal
"Penelitian ini bukan merupakan kelanjutan dari uji klinis adaptif fase 1 vaksin yang berasal dari sel dendritik autolog yang sebelumnya diinkubasi dengan spike protein Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus-2 (SARS-CoV-2) pada subyek yang tidak terinfeksi Covid-19 dan tidak terdapat antibodi antiSARS-CoV-2," tulis keterangan tertulis tersebut.
"Karena uji klinis fase 1 yang sering disebut berbagai kalangan sebagai program vaksin Nusantara ini masih harus merespons beberapa temuan BPOM yang bersifat critical dan major," pungkasnya.
Sementara itu, menurut Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio, vaksin Nusantara tidak dapat digunakan untuk vaksinasi Covid-19 secara massal.
Dia menekankan, vaksin itu dapat digunakan sebagai booster tetapi hanya untuk peruntukan secara individu.
"Vaksin Nusantara tidak bisa untuk massal, hanya untuk individu. Jadi kalau dikembangakn untuk A hanya dipakai untuk A saja. Tidak bisa untuk B," ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (22/12/2021).
Baca juga: Kata BPOM dan Kemenkes soal Vaksin Nusantara Jadi Opsi Vaksin Booster Covid-19
"Ya bisa dipakai buat booster tapi untuk orang yang sama. Jadi vaksin primernya menggunakan vaksin Nusantara, lalu booster juga pakai itu," lanjut dia.
Hal ini, menurut dia, karena platform vaksin Nusantara yang diambilkan dari sel individu itu sendiri.
Sehingga secara garis besar dapat disebutkan untuk setiap orang dibuat vaksinnya sendiri.
"Ya memang platfromnya vaksin Nusantara begitu. Menggunakan selnya sendiri. Dan itu hanya diberikan ke orang yang sama," kata Amin.
Baca juga: Tak Ada Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA dalam Kurikulum Prototipe, Apa Gantinya?
Sebagaimana diketahui, Vaksin Nusantara ini digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Pengembangan vaksin tersebut dilakukan dengan metode sel dendritik (dendritic cell) autolog atau komponen sel darah putih yang disebut menjadi yang pertama kali di dunia untuk Covid-19.
Dalam prosesnya, vaksin ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak.
Ahli Biomolekuler dan Vaksinolog, Ines Atmosukarto, mengatakan, vaksin Nusantara datanya diduga belum terlihat. Data uji klinis I belum terlihat dan belum di-update ke data uji klinis global.
Menurut Ines, ada prosedur yang harus dilewati, yakni mendapat izin dari Komite Etik, setiap protokol uji klinis dapat izin dari mereka.
Ia juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memberhentikan perizinan pengembangan vaksin tersebut jika ada aturan yang tidak sesuai.
Baca juga: Vaksin Nusantara Dipertimbangkan Jadi Booster, Ini Deretan Pejabat yang Sudah Disuntik
Kemudian, pada 8 Maret 2021, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK), Universitas Gadjah Mada (UGM) memutuskan untuk mengundurkan diri dari tim penelitian vaksin Nusantara.
Sebab, para peneliti tidak dilibatkan dalam proses uji klinis, termasuk dalam penyusunan protokol.
"Kami baru tahu saat itu muncul di media massa bahwa itu dikembangkan di Semarang, kemudian disebutkan dalam pengembangannya melibatkan tim dari UGM," ujar Wakil Dekan FK-KMK UGM Bidang Penelitian dan Pengembangan Yodi Mahendradhata dalam keterangan tertulis Humas UGM.
Baca juga: Indonesia Pilih Rafale dan F-15 EX, KSAU: Dengan Berat Hati, Kita Tinggalkan Rencana Pembelian Su-35
Sementara itu, Kepala BPOM Penny Lukito juga memberikan pernyataan setelah selesai meninjau hasil uji klinis I vaksin Nusantara.
"Saya hanya memberikan komentar bahwa data yang diberikan tadi tidak sama dengan data yang diberikan kepada BPOM dan kami sudah melakukan evaluasi," ucap dia.
Penny mengatakan, BPOM sudah menyerahkan hasil peninjauan atas uji klinis tersebut pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan tim peneliti vaksin di Semarang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.