Dewi menuturkan, rencana penertiban tanah telantar harus ditujukan untuk memulihkan hak-hak masyarakat atas tanah, terutama bagi mereka yang selama ini berada di wilayah konflik agraria dan menghadapi kemiskinan struktural berpuluh tahun
Data KPA pada 2020 menunjukkan, konflik agraria sepanjang tahun mencapai 241 kasus di 359 desa atau kota dan lebih dari 135.000 keluarga terdampak.
Baca juga: Redistribusi HGU dan HGB ala Jokowi Jangan Sampai Hanya Untungkan Elite Lagi
Menurut Dewi, perkebunan skala besar yang tumpang tindih lahan dengan puluhan ribu desa, tanah pertanian, dan kebun rakyat, menjadi penyebab konflik agraria.
Oleh sebab itu, jika serius menggunakan pendekatan reforma agraria, pemerintah mesti mencari cara menyelesaikan tumpang tindih dan penyerobotan lahan rakyat.
Dewi menegaskan, seandainya pemerintah ingin melakukan distribusi ulang tanah-tanah terlantar, masyarakat kecil seharusnya lebih diutamakan ketimbang proposal bisnis.
"Prioritaskan tanah-tanah bekas tanah telantar itu adalah kepada petani kecil, penggarap, buruh tani sehingga produktivitas pertanian rakyat membaik," kata Dewi.
Dikutip dari pemberitaan Kompas.id, 7 januari 2021, ketimpangan penguasaan hak atas tanah antara masyarakat dan badan hukum masih menjadi permasalahan.
Hal itu berdampak pada timbulnya konflik pertanahan. Pemerintah didorong untuk segera menerbitkan regulasi yang mengatur secara teknis tentang penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria Sumardjono menjelaskan, penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum perlu dilakukan.
Sebab, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberi dasar tujuan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah ini demi tercapainya tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
”Pembatasan ini merupakan bentuk intervensi. Hal ini tidak salah karena ada hak menguasai negara dalam Pasal 33 Ayat 3. Kewenangan negara ketika terjadi ketimpangan adalah melakukan intervensi untuk memperkecil ketimpangan ini,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Memperkarakan Ketimpangan Penguasaan Tanah, Kamis (7/1/2021).
Baca juga: KPA Minta Pembentukan Bank Tanah Dihentikan, Kenapa?
Menurut Maria, amanat soal pembatasan pemilikan dan penguasaan hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).
Aturan teknis terkait pembatasan untuk satu keluarga terkait dengan tanah pertanian juga telah diatur dalam sejumlah undang-undang. Meski demikian, aturan teknis itu hanya ditujukan untuk keluarga atau masyarakat.
Sementara pembatasan penguasaan tanah, baik untuk hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), maupun hak pakai (HP), oleh badan hukum sampai saat ini belum diatur.
Selain itu, KPA juga mengkritik pembentukan Bank Tanah yang dianggap bisa menjadi solusi dalam mengatasi ketimpangan pengusaan lahan.