Salin Artikel

Atasi Ketimpangan Penguasaan Lahan, Pulihkan Hak Masyarakat atas Tanah

JAKARTA, KOMPAS.com – Upaya pemerintah dalam mengatasi ketimpangan pengusaan lahan diharap memulihkan hak masyarakat atas tanah.

Mengacu pada konsep reforma agraria yang sesungguhnya, redistribusi lahan berkaitan dengan hak masyarakat atas tanah. Artinya, tanah tidak melulu harus dipandang sebagai komoditas.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) khawatir pendekatan yang digunakan pemerintah saat ini tidak menyelesaikan akar persoalan.

Masalah ketimpangan penguasaan lahan awalnya disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas dalam Kongres Ekonomi Umat Islam II, Jumat (10/12/2021).

Hal itu disampaikan langsung di hadapan Presiden Joko Widodo. Menurut Anwar, ketimpangan penguasaan lahan telah jadi masalah berpuluh tahun.

Dia mengatakan, indeks gini dalam bidang pertanahan sangat memprihatinkan, yakni 0,59. Dengan demikian, 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini.

Sementara yang 99 persen lainnya hanya menguasai 41 persen lahan.

Jokowi tak menampik pernyataan itu, namun ia mengeklaim pemerintah sedang berupaya mengatasi masalah ketimpangan.

Jokowi menyampaikan, sedikitnya ada 12 juta hektare lahan yang menanti untuk didistribusikan ulang ke masyarakat.

Pemerintah akan mencabut hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) atas tanah yang telantar selama puluhan tahun, kemudian dihimpun dalam Bank Tanah dan didistribusi ulang.

”Tapi dengan sebuah hitung-hitungan proposal yang feasibel. Artinya ada feasibility study yang jelas, akan digunakan apa lahan itu,” kata Jokowi.

Bias kepentingan bisnis

Namun, Pendekatan ini dianggap bermasalah. Syarat feasibility study atau studi kelayakan ini bias kepentingan bisnis.

Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, jika berdasarkan studi kelayakan, maka prioritas hanya diberikan kepada pihak yang memiliki akses terhadap modal besar.

"Jika pendekatannya semacam demikian, maka akan kontraproduktif lagi dengan prinsip reforma agraria, karena yang akan mendapatkan tanah tersebut lagi-lagi adalah kelompok yang punya akses permodalan, yang menguasai teknologi, dan pasar," kata Dewi, saat dihubungi, Selasa (14/12/2021).

"Artinya badan-badan usaha besar kembali yang memonopoli tanah," ucapnya.

Dewi menuturkan, rencana penertiban tanah telantar harus ditujukan untuk memulihkan hak-hak masyarakat atas tanah, terutama bagi mereka yang selama ini berada di wilayah konflik agraria dan menghadapi kemiskinan struktural berpuluh tahun

Data KPA pada 2020 menunjukkan, konflik agraria sepanjang tahun mencapai 241 kasus di 359 desa atau kota dan lebih dari 135.000 keluarga terdampak.

Menurut Dewi, perkebunan skala besar yang tumpang tindih lahan dengan puluhan ribu desa, tanah pertanian, dan kebun rakyat, menjadi penyebab konflik agraria.

Oleh sebab itu, jika serius menggunakan pendekatan reforma agraria, pemerintah mesti mencari cara menyelesaikan tumpang tindih dan penyerobotan lahan rakyat.

Dewi menegaskan, seandainya pemerintah ingin melakukan distribusi ulang tanah-tanah terlantar, masyarakat kecil seharusnya lebih diutamakan ketimbang proposal bisnis.

"Prioritaskan tanah-tanah bekas tanah telantar itu adalah kepada petani kecil, penggarap, buruh tani sehingga produktivitas pertanian rakyat membaik," kata Dewi.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.id, 7 januari 2021, ketimpangan penguasaan hak atas tanah antara masyarakat dan badan hukum masih menjadi permasalahan.

Hal itu berdampak pada timbulnya konflik pertanahan. Pemerintah didorong untuk segera menerbitkan regulasi yang mengatur secara teknis tentang penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum.

Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria Sumardjono menjelaskan, penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum perlu dilakukan.

Sebab, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberi dasar tujuan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah ini demi tercapainya tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

”Pembatasan ini merupakan bentuk intervensi. Hal ini tidak salah karena ada hak menguasai negara dalam Pasal 33 Ayat 3. Kewenangan negara ketika terjadi ketimpangan adalah melakukan intervensi untuk memperkecil ketimpangan ini,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Memperkarakan Ketimpangan Penguasaan Tanah, Kamis (7/1/2021).

Menurut Maria, amanat soal pembatasan pemilikan dan penguasaan hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).

Aturan teknis terkait pembatasan untuk satu keluarga terkait dengan tanah pertanian juga telah diatur dalam sejumlah undang-undang. Meski demikian, aturan teknis itu hanya ditujukan untuk keluarga atau masyarakat.

Sementara pembatasan penguasaan tanah, baik untuk hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), maupun hak pakai (HP), oleh badan hukum sampai saat ini belum diatur.

Kritik atas Bank Tanah

Selain itu, KPA juga mengkritik pembentukan Bank Tanah yang dianggap bisa menjadi solusi dalam mengatasi ketimpangan pengusaan lahan.

Pemerintah menghendaki Bank Tanah berperan sebagai pengendali utama pengadaan dan pengalokasian tanah di Indonesia.

Kendati demikian, menurut KPA, sejak awal pembentukan, Bank Tanah tidak berpihak pada masyarakat kecil, melainkan pada kepentingan bisnis.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah, pemerintah mengatur bahwa Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pembangunan, dalam rangka mendukung peningkatan ekonomi dan investasi.

“Celakanya, sumber tanah yang dikuasai Bank Tanah dari penetapan pemerintah melalui klaim tanah negara. Tanah negara ini diatur dalam PP lain yaitu PP 18 Nomor 2021 tentang Hak Pengelolaan, di mana tanah negara salah satunya adalah tanah petani, nelayan, masyarakat adat yang belum bersertifikat, yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya,” dikutip dari siaran pers KPA pada Mei 2021.

KPA menilai, cara kerja ini membuat negara seakan-akan memiliki hak absolut mengelola tanah tak bersertifikat

Padahal, tanah-tanah tersebut sudah menjadi wilayah hidup warga sejak lama, mereka menempati dan menggarap tanah-tanah itu.

“Secara jelas dan terbuka, dalam berbagai kesempatan Menteri ATR dan jajarannya selalu mengatakan, bahwa Bank Tanah bertujuan utama memudahkan pengadaan tanah bagi Proyek Strategis Pengusaha yang diberi stempel ‘Nasional’ (PSN, proyek strategis nasional), maupun kegiatan bisnis lainnya, baik yang digagas BUMN atau swasta,” tulis KPA.

KPA berpandangan, alih-alih menuntaskan konflik agraria dan meredistribusikan tanah secara berkeadilan, Bank Tanah justru bersifat pro-pasar tanah.

Bank Tanah juga dianggap cenderung memberikan tanah pada kelompok masyarakat yang memiliki posisi tawar kuat secara ekonomi dan politik.

"Tanah-tanah bekas HGU, tanah terlantar, sebagai obyek reforma agraria bagi rakyat, kini lewat Bank Tanah diambil alih untuk kepentingan badan usaha.”

https://nasional.kompas.com/read/2021/12/16/15121481/atasi-ketimpangan-penguasaan-lahan-pulihkan-hak-masyarakat-atas-tanah

Terkini Lainnya

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke