Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Atasi Ketimpangan Penguasaan Lahan, Pulihkan Hak Masyarakat atas Tanah

Kompas.com - 16/12/2021, 15:12 WIB
Vitorio Mantalean,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Upaya pemerintah dalam mengatasi ketimpangan pengusaan lahan diharap memulihkan hak masyarakat atas tanah.

Mengacu pada konsep reforma agraria yang sesungguhnya, redistribusi lahan berkaitan dengan hak masyarakat atas tanah. Artinya, tanah tidak melulu harus dipandang sebagai komoditas.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) khawatir pendekatan yang digunakan pemerintah saat ini tidak menyelesaikan akar persoalan.

Masalah ketimpangan penguasaan lahan awalnya disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas dalam Kongres Ekonomi Umat Islam II, Jumat (10/12/2021).

Baca juga: Tanggapi Ketimpangan Penguasaan Lahan, Jokowi: Bukan Saya yang Membagi

Hal itu disampaikan langsung di hadapan Presiden Joko Widodo. Menurut Anwar, ketimpangan penguasaan lahan telah jadi masalah berpuluh tahun.

Dia mengatakan, indeks gini dalam bidang pertanahan sangat memprihatinkan, yakni 0,59. Dengan demikian, 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini.

Sementara yang 99 persen lainnya hanya menguasai 41 persen lahan.

Jokowi tak menampik pernyataan itu, namun ia mengeklaim pemerintah sedang berupaya mengatasi masalah ketimpangan.

Jokowi menyampaikan, sedikitnya ada 12 juta hektare lahan yang menanti untuk didistribusikan ulang ke masyarakat.

Pemerintah akan mencabut hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) atas tanah yang telantar selama puluhan tahun, kemudian dihimpun dalam Bank Tanah dan didistribusi ulang.

”Tapi dengan sebuah hitung-hitungan proposal yang feasibel. Artinya ada feasibility study yang jelas, akan digunakan apa lahan itu,” kata Jokowi.

Baca juga: Saat Jokowi dan Waketum MUI Anwar Abbas Lempar-Jawab Kritik

Bias kepentingan bisnis

Namun, Pendekatan ini dianggap bermasalah. Syarat feasibility study atau studi kelayakan ini bias kepentingan bisnis.

Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, jika berdasarkan studi kelayakan, maka prioritas hanya diberikan kepada pihak yang memiliki akses terhadap modal besar.

"Jika pendekatannya semacam demikian, maka akan kontraproduktif lagi dengan prinsip reforma agraria, karena yang akan mendapatkan tanah tersebut lagi-lagi adalah kelompok yang punya akses permodalan, yang menguasai teknologi, dan pasar," kata Dewi, saat dihubungi, Selasa (14/12/2021).

"Artinya badan-badan usaha besar kembali yang memonopoli tanah," ucapnya.

Dewi menuturkan, rencana penertiban tanah telantar harus ditujukan untuk memulihkan hak-hak masyarakat atas tanah, terutama bagi mereka yang selama ini berada di wilayah konflik agraria dan menghadapi kemiskinan struktural berpuluh tahun

Data KPA pada 2020 menunjukkan, konflik agraria sepanjang tahun mencapai 241 kasus di 359 desa atau kota dan lebih dari 135.000 keluarga terdampak.

Baca juga: Redistribusi HGU dan HGB ala Jokowi Jangan Sampai Hanya Untungkan Elite Lagi

Menurut Dewi, perkebunan skala besar yang tumpang tindih lahan dengan puluhan ribu desa, tanah pertanian, dan kebun rakyat, menjadi penyebab konflik agraria.

Oleh sebab itu, jika serius menggunakan pendekatan reforma agraria, pemerintah mesti mencari cara menyelesaikan tumpang tindih dan penyerobotan lahan rakyat.

Dewi menegaskan, seandainya pemerintah ingin melakukan distribusi ulang tanah-tanah terlantar, masyarakat kecil seharusnya lebih diutamakan ketimbang proposal bisnis.

"Prioritaskan tanah-tanah bekas tanah telantar itu adalah kepada petani kecil, penggarap, buruh tani sehingga produktivitas pertanian rakyat membaik," kata Dewi.

Dikutip dari pemberitaan Kompas.id, 7 januari 2021, ketimpangan penguasaan hak atas tanah antara masyarakat dan badan hukum masih menjadi permasalahan.

Hal itu berdampak pada timbulnya konflik pertanahan. Pemerintah didorong untuk segera menerbitkan regulasi yang mengatur secara teknis tentang penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum.

Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria Sumardjono menjelaskan, penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum perlu dilakukan.

Sebab, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberi dasar tujuan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah ini demi tercapainya tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

”Pembatasan ini merupakan bentuk intervensi. Hal ini tidak salah karena ada hak menguasai negara dalam Pasal 33 Ayat 3. Kewenangan negara ketika terjadi ketimpangan adalah melakukan intervensi untuk memperkecil ketimpangan ini,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Memperkarakan Ketimpangan Penguasaan Tanah, Kamis (7/1/2021).

Baca juga: KPA Minta Pembentukan Bank Tanah Dihentikan, Kenapa?

Menurut Maria, amanat soal pembatasan pemilikan dan penguasaan hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).

Aturan teknis terkait pembatasan untuk satu keluarga terkait dengan tanah pertanian juga telah diatur dalam sejumlah undang-undang. Meski demikian, aturan teknis itu hanya ditujukan untuk keluarga atau masyarakat.

Sementara pembatasan penguasaan tanah, baik untuk hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), maupun hak pakai (HP), oleh badan hukum sampai saat ini belum diatur.

Kritik atas Bank Tanah

Selain itu, KPA juga mengkritik pembentukan Bank Tanah yang dianggap bisa menjadi solusi dalam mengatasi ketimpangan pengusaan lahan.

Pemerintah menghendaki Bank Tanah berperan sebagai pengendali utama pengadaan dan pengalokasian tanah di Indonesia.

Kendati demikian, menurut KPA, sejak awal pembentukan, Bank Tanah tidak berpihak pada masyarakat kecil, melainkan pada kepentingan bisnis.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah, pemerintah mengatur bahwa Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah untuk pembangunan, dalam rangka mendukung peningkatan ekonomi dan investasi.

Celakanya, sumber tanah yang dikuasai Bank Tanah dari penetapan pemerintah melalui klaim tanah negara. Tanah negara ini diatur dalam PP lain yaitu PP 18 Nomor 2021 tentang Hak Pengelolaan, di mana tanah negara salah satunya adalah tanah petani, nelayan, masyarakat adat yang belum bersertifikat, yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya,” dikutip dari siaran pers KPA pada Mei 2021.

Baca juga: Pemerintah Bakal Cabut HGB dan HGU Telantar, Apa Konsekuensinya?

KPA menilai, cara kerja ini membuat negara seakan-akan memiliki hak absolut mengelola tanah tak bersertifikat

Padahal, tanah-tanah tersebut sudah menjadi wilayah hidup warga sejak lama, mereka menempati dan menggarap tanah-tanah itu.

Secara jelas dan terbuka, dalam berbagai kesempatan Menteri ATR dan jajarannya selalu mengatakan, bahwa Bank Tanah bertujuan utama memudahkan pengadaan tanah bagi Proyek Strategis Pengusaha yang diberi stempel ‘Nasional’ (PSN, proyek strategis nasional), maupun kegiatan bisnis lainnya, baik yang digagas BUMN atau swasta,” tulis KPA.

KPA berpandangan, alih-alih menuntaskan konflik agraria dan meredistribusikan tanah secara berkeadilan, Bank Tanah justru bersifat pro-pasar tanah.

Bank Tanah juga dianggap cenderung memberikan tanah pada kelompok masyarakat yang memiliki posisi tawar kuat secara ekonomi dan politik.

"Tanah-tanah bekas HGU, tanah terlantar, sebagai obyek reforma agraria bagi rakyat, kini lewat Bank Tanah diambil alih untuk kepentingan badan usaha.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com