JAKARTA, KOMPAS.com - Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengatakan, ada 6 kampus di Kota Pelajar itu yang belum menyelesaikan perkara kekerasan seksual.
Staf Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) LBH Yogyakarta, Kharisma Wardhatul menyebut, 6 kampus tersebut belum menangani kekerasan seksual dengan berpihak pada korban.
“Kampus-kampus itu tidak punya regulasi, kemudian baru merespons ketika ada kasus, mereka tidak membuat regulasi pencehannya,” ucap Kharisma dalam konferensi pers virtual Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Selasa (16/11/2021).
Baca juga: Aturan soal Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus Dinilai Jadi Terobosan Penting
Dalam catatan LBH Yogyakarta, terdapat satu universitas negeri yang akhirnya membuat regulasi penanganan kekerasan seksual dengan membentuk standar operasional prosedur (SOP) dan unit pelaksana teknis (UPT) setelah ditemukannya kasus.
Sayangnya, meski aturan telah dibuat, korban justru diabaikan.
“Korban tidak ditangani dengan layak, sehingga korban merasa tidak nyaman karena mendapat tekanan dari berbagai pihak, seperti dosen, teman-teman pelaku, serta respons kampus yang lamban,” ucap dia.
Respon kampus yang lamban menangani kekerasan seksual, menurut Kharisma, berdampak besar pada psikologis korban yang merasa sulit mendapat keadilan, hingga tak memiliki masa depan.
“Karena (korban merasa) situasi kampus tidak aman, dia masih mungkin bertemu dengan pelaku dalam kelas-kelasnya di kemudian hari,” ucap dia.
Baca juga: IPB: Permendikbud 30/2021 Langkah Awal Tangani Keresahan Kampus atas Meningkatnya Kekerasan Seksual
Kharisma menilai, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi cukup komprehensif dan progresif untuk menangani banyak kasus kekerasan seksual di kampus.
“Karena dicantumkan upaya pendampingan dan pemulihan hingga sanksi administratif untuk pelaku dan perguruan tinggi,” kata dia.
Ia juga mengapresiasi munculnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 itu karena Satuan Tugas (Satgas) penanganan perkara juga melibatkan mahasiswa.
“Jadi tidak hanya dosen didalam Satgas itu, dan Permen ini juga menyarankan perguruan tinggi mengajak instansi terkait dalam upaya perlindungan dan pemulihan korban,” ucap dia.
Terakhir, Kharisma menegaskan, pihaknya mendorong implementasi Permendikbudristek tersebut dan berharap masyarakat sipil turut serta melakukan pengawasan.
“Jadi tidak ada alasan penolakan Permendikbud ini,” kata dia.
Mendikbud Ristek Nadiem Makarim menyampaikan bahwa Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 telah disusun selama 1,5 tahun dengan melibatkan berbagai pihak.
Baca juga: Dukungan dan Kontroversi Seputar Permendikbud Ristek Tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus
Nadiem nampak serius menerbitkan aturan ini. Ia bahkan mengancam akan memberikan sanksi pada perguruan tinggi yang tidak mengimplementasikan aturan tersebut.
“Sanksi administratif kalau tidak melakukan proses PPKS ini sesuai dengan Permen ini, ada berbagai macam sanksi. Dari keuangan sampai akreditasi,” kata Nadiem dikutip dari tayangan YouTube, Kemendikbud RI, Jumat (12/11/2021).
Nadiem menegaskan, pemberian sanksi diperlukan agar perguruan tinggi memahami keseriusan pemerintah menangani kekerasan seksual.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.