Mereka berkelakar dan mengenang cerita-cerita di masa lalu. Saya yang ikut makan bersama di meja yang berdekatan begitu menikmati indahnya persahabatan Gus Dur dan Mbak Mega – demikian saya memanggilnya ketika itu.
Ajudan Megawati sempat menelpon saya yang berada semobil dengan Gus Dur dan bertanya apakah iring-iringan rombongan perlu berhenti dulu untuk memberi kesempatan Gus Dur salat zuhur.
Kami yang menemami Gus Dur di mobil meminta staf terdekatnya untuk membangunkan Gus Dur dan bertanya apakah mobil berhenti untuk memberi kesempatan Gus Dur dan rombongan melaksanakan salat.
Jawaban Gus Dur sangat enteng, “Wis tahu (sudah pernah salat)” dan melanjutkan tidur lagi. Alhasil iring-iringan mobil berlanjut terus dari Malang ke Blitar.
Kebetulan lagi, saya juga menjadi saksi persahabatan antara BJ Habibie dengan Megawati. Ceritanya, Megawati terkena demam berdarah. Ia dirawat di kamar 318 Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) Kuningan, Jakarta, 25 Oktober 2005.
Tim dokter kepresidenan yang ikut merawat Megawati melarang siapapun menjenguk supaya Megawati bisa beristirahat dengan baik.
Tim pengamanan yang menjaga selasar kamar Megawati akan menolak dengan sopan dan ramah siapa pun yang ingin menjenguk.
Pernah ada tamu yang ngeyel dan ngotot untuk menjenguk. Petugas keamanan kewalahan. Saya diperintahkan Megawati untuk melihat siapa tamu yang datang.
Ternyata dia adalah politisi perempuan dari Senayan yang memaksa minta ketemu karena ingin maju menjadi calon gubernur Banten. Saya berhasil menolak tamu ini dengan menyampaikan alasan medis dan larangan tim dokter.
Tapi, ada satu tamu yang Megawati minta dilonggarkan. Mega bilang, jangan hiraukan larangan dokter untuk satu tamu spesial.
Tamu spesial itu adalah BJ Habibie yang berkali-kali minta Megawati jangan sakit dan harus segera sembuh.
Saya masih ingat dengan gaya biacaranya yang khas dan mimiknya yang lucu. Mereka berdua terlihat akrab, seperti sahabat lama yang sudah lama tidak jumpa.
Saat itu, BJ Habibe sering menghabiskan waktu di Jerman.
Saat Soekarno dikeluarkan dengan paksa atas perintah Soeharto dari Istana Bogor akhir 1967, tim kedokteran kepresidenan yang merawat Soekarno juga dibubarkan.
Tim yang beranggotakan Prof Siwabessy, dokter Soeharto, dokter Tang Sin Hin, dan Kapten CPM dokter Soerojo yang paham rekam medis Bung Karno tidak lagi bisa merawat bahkan menjenguk sekalipun.
Soekarno yang dipindahkan ke tahanan rumah di Wisma Yasso (sekarang Museum TNI Satria Mandala), Jakarta, diketahui menderita hipertensi dan fungsi ginjal yang tidak normal.
Ginjal sebelah kiri sudah tidak berfungsi sama sekali. Ginjal sebelah kanan tinggal berfungsi seperempatnya. Belum lagi penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung dan gejala gagal jantung.
Komplikasi inilah yang menyebabkan tubuh Bung Karno terus membengkak. Belum lagi ada tulang rusuk Bung Karno yang patah dan katarak yang tidak diobati.