Menurutnya, patokan harga ikan di daerah berbeda-beda dan yang ditetapkan Kementerian KP jauh melampaui harga pada tingkat pasar.
Dengan kata lain, Kementerian KP menentukan harga patokan ikan (HPI) hanya berdasarkan perkiraan saja dan tidak melihat realitas di masyarakat.
Tingginya HPI itu pun akan meningkatkan pungutan terhadap PNBP sektor perikanan yang membebani nelayan dan pelaku usaha perikanan.
“Kami selama ini bergerak di perikanan sudah 30 tahun, tapi kami tidak pernah diajak bicara pembahasan PP Nomor 85 itu, Pak. Tiba-tiba saja sudah keluar. Jadi isinya apa dan bagaimana dampaknya untuk kami, kami tidak tahu,” ujarnya.
Baca juga: Masa Karantina Perjalanan Internasional Jadi 3 Hari, Anggota DPR Minta Berdasarkan Riset
Remon menilai, pemerintah mengesahkan PP Nomor 85 Tahun 2021 secara mendadak dan tidak sesuai dengan ruh Undang-undang (UU) Perikanan.
Kepada Gus Muhaimin, dia menyatakan, isi PP tersebut banyak yang tidak sesuai dengan harapan nelayan, bahkan cenderung memberatkan.
Dampak lain yang juga disuarakan asosiasi nelayan ini adalah masalah bahan bakar minyak (BBM) yang solar susah didapatkan mereka.
Bahkan, harga solar nonsubsidi di daerah mencapai Rp 12.800 per liter, ditambah beban pajak sehingga nelayan tidak bisa melaut.
“Saya minta kepastian, kenapa tiap ganti rezim ganti peraturan begini? Apa sebenanya yang terjadi di Kementerian KP? Saya lihat Kementerian KP ini membunuh pengusaha ikan yang sudah berpuluh-puluh tahun berusaha,” katanya.
Baca juga: Naik Pesawat Boleh Pakai Antigen, Anggota DPR: Pemerintah Harus Konsisten Keluarkan Kebijakan
Remon mengatakan, Kementerian KP hanya memikirkan pengambilan pajak dan PNBP dari laut, tapi tidak memikirkan bagaimana nelayan mendapatkan BBM langka dan mahal.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.