JAKARTA, KOMPAS.com - Enam tahun yang lalu, tepatnya pada 26 September 2015, seorang petani dan juga aktivis lingkungan hidup yang dikenal dengan nama Salim Kacil dibunuh secara keji.
Salim dibunuh sesaat sebelum demo penolakan tambang pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Hariyono, menugaskan sejumlah preman untuk membunuhnya.
Baca juga: Kasus Salim Kancil, Potret Suara Masyarakat yang Diabaikan
Salim dikeroyok sekitar 40 orang dengan menggunakan sejumlah senjata tajam, batu, hingga kayu.
Tindakan penganiayaan berlanjut dengan menyeret Salim sejauh dua kilometer menuju balai desa. Sederet perlakukan keji pun terus dilakukan hingga Salim Kancil pun meninggal.
Salim Kancil diduga dibunuh terkait aktivitasnya bersama kelompoknya, yaitu Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar yang memprotes penambangan pasir di desanya.
Kehadiran tambang pasir yang semakin merebak di desanya sudah dirasakan warga merusak lingkungan setempat.
Baca juga: Anggota Komisi III: Kasus Salim Kancil Harus Diungkap Akar Masalahnya
Saluran irigasi persawahan rusak, padi tak bisa ditanam akibat air laut menggenangi persawahan setelah pesisir terus dilakukan pengurukan pasir.
Salah satu rekan Salim, Tosan, juga memperoleh perlakukan yang sama. Tosan lolos dari maut setelah massa menghentikan penganiayaan terhadap Tosan. Pada waktu itu, Tosan berpura-pura telah meninggal.
Hal itu terungkap dalam persidangan, saat Tosan bersaksi di sidang Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (25/2/2016).
"Saya memang pura-pura mati, Pak Hakim. Kalau tidak gitu, saya mati beneran," kata Tosan saat bersaksi di depan majelis hakim.
Akibat penganiayaan itu, Tosan mengalami luka berat dan harus dirawat dalam waktu yang cukup lama.