Kelima faktor dasar itu adalah budaya patriarki, pertalian keluarga, kelas sosial, konteks sejarah, dan sistem pemilihan umum.
Politik merupakan medan perjuangan bagi seorang Megawati. Meski budaya patriarki di negeri ini masih terbilang kuat, Megawati terbukti bertahan di tengah dominasi politikus laki-laki.
Ini terkait erat dengan sosok Mega sebagai putri Bung Karno. Massa PDI Perjuangan diikat kuat dengan identitas putri proklamator.
Di sini, Megawati menerima takdirnya sebagai putri presiden yang kemudian menempatkannya pada kelas sosial tertentu.
Baca juga: Rezim Soekarno, Soeharto, dan 20 Tahun Reformasi, dalam Hal Ekonomi
Pada tahapan berikutnya, konteks sejarah—yakni jatuhnya pemerintahan Soeharto yang diikuti dengan perubahan sistem pemilihan umum di Indonesia—membuka peluang bagi Megawati untuk menjadi presiden.
Setiap peristiwa politik pasti dipengaruhi oleh konteks sejarah yang menuntut adanya perubahan pada titik tertentu.
Sepanjang Pemilu 1999, 2004, dan 2009, Megawati menjadi satu-satunya politikus perempuan yang berkontestasi untuk menjadi Presiden RI.
Tampilnya Megawati sebagai capres dalam Pilpres 2004 dan 2009 membuktikan kuatnya keteguhan sosok perempuan yang berkarier sebagai politikus.
Tentu, beban mental yang dirasakan Megawati tidaklah ringan.
Pada Pilpres 2004, istri Taufiq Kiemas itu diharuskan bersaing ketat dengan sejumlah tokoh politik yang menjadi bagian penting dari Orde Baru. Di antara mereka ada Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Agum Gumelar.
Namun, pada 2009, Megawati justru berpasangan dengan Prabowo Subianto yang pernah menjadi menantu Soeharto.
Langkah-langkah politik mbak Mega—panggilan Megawati—memperlihatkan keluwesan sekaligus kepraktisan dalam memilih pasangan cawapres.
Pada 2004, Megawati berpasangan dengan Kiai Hasyim Muzadi. Lalu, pada 2009, Mega berpasangan dengan Prabowo yang berlatar belakang militer.
Baca juga: 25 Tahun Kudatuli: Peristiwa Mencekam di Kantor PDI
Meski disibukkan dengan aktivitas politik yang menggerus energi, Megawati terhitung sukses mengelola urusan rumah tangganya bersama Taufiq Kiemas yang juga berkarier sebagai politikus.
Keharmonisan rumah tangga ini menjadi modal sangat penting bagi seorang tokoh publik perempuan.
Dalam catatan Tri Marhaeni Pudji Astuti (2008), budaya patriarki menuntut politikus perempuan di Indonesia tidak punya cedera di mata publik.
Sebaliknya, politikus laki-laki mendapatkan perlakuan yang berbeda. Andai ada politikus laki-laki yang rumah tangganya tidak harmonis, kesalahan tidak langsung ditujukan kepada si politikus.
Kini, menjelang regenerasi kepemimpinan nasional 2024, terlihat sudah ada empat nama yang sedang membangun popularitas, baik di jagat maya maupun di jagat nyata. Mereka adalah Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Muhaimin Iskandar.
Tiga nama terakhir menjabat sebagai ketua umum parpol. Artinya, mereka berpeluang besar disodorkan namanya baik sebagai capres maupun cawapres.