Luhut keberatan.
"Tanpa dasar dan tidak berdasar menyatakan bahwa Luhut Binsar Panjaitan, klien kami, bermain. Nah ini kata-kata bermain tambang maupun pertambangan yang terjadi di Papua!" kata Pengacara Juniver Girsang dalam keterangan video yang diterima Kompas TV, Minggu (29/8/2021) lalu.
"Pernyataan ini sangat tendensius. Pernyataan ini sangat merugikan klien kami," tambah Juniver.
Somasi adalah teguran resmi, dilakukan sebagai tanda ajakan untuk mengklarifikasi atau menyelesaikan sebuah persoalan yang memiliki konsekuensi hukum poisitif di Indonesia. Jika somasi tak diindahkan, bisa dilanjutkan dengan pelaporan.
Moeldoko disebut akan melaporkan ICW ke polisi.
Pertanyaannya, wajarkah? jawabannya bisa ya, bisa pula tidak!
Untuk menjawab ini saya meminta pendapat dua ahli. Pertama adalah Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini. Kedua adalah Pengajar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar.
"Jangan lupa, demokrasi itu soal dialog dan dialog itu semestinya tidak melibatkan upaya-upaya hukum, pejabat versus rakyat, pejabat versus masyarakat sipil. Justru data yang tidak sama ini harus dipertemukan dengan skema dialog," kata Titi kepada KompasTV.
Sementara dari sisi hukum, Abdul Fickar berpendapat, tak semestinya pejabat menggunggat kritik yang dialamatkan kepadanya, sekalipun kritik itu salah.
Alasannya, pejabat negara memang sungguh wajar untuk dikritik. Kritik harus dijawab dengan apa yang benar menurut pejabat, bukan justru menghukum pengkritik, sekalipun ada kesalahan dalam isi kritik tersebut.
Pertanyaan saya, kapankah proses hukum bisa dilakukan oleh pejabat yang notabene merupakan sosok individu yang memiliki hak yang sama di mata hukum?
"Bila ada indikasi mens rea, alias niat jahat. Darimana indikasi niat jahat itu? Dari tulisan yang lebih dari satu kali menyasar sosok pejabat yang sama dan ditulis juga oleh orang yang sama. Jadi tak boleh hanya karena satu kali tulisan lalu langsung memolisikan aktivis yang mengkritik," kata Fickar kepada program AIMAN KompasTV.
Masih hangat di ingatan, pada 2020 lalu, Indeks Demokrasi di Indonesia turun drastis, terpuruk selama 14 tahun terakhir.
Tentu jadi pelajaran dan peringatan untuk seluruh komponen bangsa jangan sampai terbersit keinginan apalagi upaya untuk kembali ke masa silam.
Bukankah karena demokrasi, siapapun punya hak yang sama, termasuk menjadi seorang pejabat negara bahkan presiden.
Kondisi yang mustahil terjadi di era otoritarianisme yang terkonsentrasi pada satu pemimpin yang pernah kita alami di masal lalu. Jangan!
Saya Aiman Witjaksono.
Salam
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.