Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Wajarkah Pejabat Laporkan Aktivis?

Kompas.com - 07/09/2021, 14:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WAJARKAH seorang pejabat melaporkan aktivis? Tentu saja ada yang bilang wajar, ada yang bilang tidak wajar. Namun, jawaban atas pertanyaan ini tidak semata-mata dilihat dari perspektif hukum tapi juga keberlangsungan demokrasi.

Lho, apakah demokrasi tidak boleh bicara penyelesaian hukum? Sangat boleh. Syarat dan ketentuan berlaku.

Apa syarat dan ketentuannya? Inilah yang jadi inti perdebatan.

Saat ini ada dua kasus somasi yang dilayangkan kepada aktivis.

Somasi Moeldoko

 

Yang pertama adalah somasi Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko kepada Indonesia Corruption Watch (ICW). Kasus ini bermula dari siaran pers ICW yang berjudul Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis.

Peneliti ICW Egi Primayogha dan Miftachul Choir ini menyebut, ada keterkaitan antara Sofia Koswara dan Joanina Rachma.

Sofia adalah petinggi PT Harsen Laboratories, perusahaan farmasi yang memproduksi Ivermectin yang disebut-sebut sebagai obat alternatif untuk Covid-19.

Joanina adalah putri Moeldoko. Perusahaan Joanina kerap bekerja sama dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang dipimpin Moeldoko. Dalam siaran pers itu disebutkan, Moeldoko mendistribusikan Ivermectin ke Kudus, Jawa Tengah.

ICW menulis dalam siaran pers yang dirilis 22 Juli 2021,

"Fenomena tersebut kian menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 digunakan sebagai alat untuk mencari keuntungan dan memperkaya diri. Presiden Joko Widodo bahkan tidak menindak tegas pejabatnya yang diduga terlibat dalam konflik kepentingan distribusi Ivermectin.

Alih-alih demikian, ia bahkan membuka ruang perburuan rente dengan membiarkan instansi tertentu campur tangan dalam penanganan covid di luar tugas dan kewenangannya." 

Atas pernyataan ICW ini, Moeldoko mengirim tiga somasi kepada ICW dan meminta ICW memohon maaf atas pernyataan yang disebut Moeldoko tidak berdasar.

ICW bergeming: tidak mencabut pernyataan, juga tidak minta maaf. Moeldoko pun berniat melanjutkannya ke ranah pidana. 

"Karena ini adalah character assassination, membunuh karakter seseorang yang kebenarannya belum jelas! Apalagi dengan pendekatan ilmu-ilmu cocoklogi, dicocok-cocokkan! Ini apa-apaan ini," kata Moeldoko kepada wartawan, Selasa (31/8/2021) lalu.

"Sungguh saya tidak mau terima yang seperti itu. Berikutnya, saya tidak terlalu banyak meminta. Anda minta maaf, klarifikasi, cabut pernyataan, selesai. Tapi kalau itu tidak Anda lakukan, saya harus lapor polisi. Itu sikap saya," tegas Moeldoko. 

Somasi Luhut Binsar Pandjaitan

Kasus kedua adalah somasi yang dilayangkan Menko Maritim dan Investasi Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan kepada Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti.

Somasi ini terkait kanal youtube Haris yang salah satu videonya berjudul Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! 

Sampai sekarang video itu masih bisa diakses. Dalam video tersebut, Fatia mengungkapkan dugaan soal kelindan bisnis Luhut di Papua dan Operasi Militer di sana.

"Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita. Namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Lord Luhut. Jadi, Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini," kata Fatia dalam tayangan youtube Haris Azhar.

 

Luhut keberatan.

"Tanpa dasar dan tidak berdasar menyatakan bahwa Luhut Binsar Panjaitan, klien kami, bermain. Nah ini kata-kata bermain tambang maupun pertambangan yang terjadi di Papua!" kata Pengacara Juniver Girsang dalam keterangan video yang diterima Kompas TV, Minggu (29/8/2021) lalu.

"Pernyataan ini sangat tendensius. Pernyataan ini sangat merugikan klien kami," tambah Juniver.

Wajarkah pejabat melaporkan aktivis?

Somasi adalah teguran resmi,  dilakukan sebagai tanda ajakan untuk mengklarifikasi atau menyelesaikan sebuah persoalan yang memiliki konsekuensi hukum poisitif di Indonesia. Jika somasi tak diindahkan, bisa dilanjutkan dengan pelaporan.

Moeldoko disebut akan melaporkan ICW ke polisi.

Pertanyaannya, wajarkah? jawabannya bisa ya, bisa pula tidak! 

Untuk menjawab ini saya meminta pendapat dua ahli. Pertama adalah Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini. Kedua adalah Pengajar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar.

"Jangan lupa, demokrasi itu soal dialog dan dialog itu semestinya tidak melibatkan upaya-upaya hukum, pejabat versus rakyat, pejabat versus masyarakat sipil. Justru data yang tidak sama ini harus dipertemukan dengan skema dialog," kata Titi kepada KompasTV.

Sementara dari sisi hukum, Abdul Fickar berpendapat, tak semestinya pejabat menggunggat kritik yang dialamatkan kepadanya, sekalipun kritik itu salah.

Alasannya, pejabat negara memang sungguh wajar untuk dikritik. Kritik harus dijawab dengan apa yang benar menurut pejabat, bukan justru menghukum pengkritik, sekalipun ada kesalahan dalam isi kritik tersebut.

Pertanyaan saya, kapankah proses hukum bisa dilakukan oleh pejabat yang notabene merupakan sosok individu yang memiliki hak yang sama di mata hukum?

"Bila ada indikasi mens rea, alias niat jahat. Darimana indikasi niat jahat itu? Dari tulisan yang lebih dari satu kali menyasar sosok pejabat yang sama dan ditulis juga oleh orang yang sama. Jadi tak boleh hanya karena satu kali tulisan lalu langsung memolisikan aktivis yang mengkritik," kata Fickar kepada program AIMAN KompasTV.

Masih hangat di ingatan, pada 2020 lalu, Indeks Demokrasi di Indonesia turun drastis, terpuruk selama 14 tahun terakhir.

Tentu jadi pelajaran dan peringatan untuk seluruh komponen bangsa jangan sampai terbersit keinginan apalagi upaya untuk kembali ke masa silam.

Bukankah karena demokrasi, siapapun punya hak yang sama, termasuk menjadi seorang pejabat negara bahkan presiden.

Kondisi yang mustahil terjadi di era otoritarianisme yang terkonsentrasi pada satu pemimpin yang pernah kita alami di masal lalu.  Jangan!

Saya Aiman Witjaksono.

Salam

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan 'Cawe-cawe' Pj Kepala Daerah

Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan "Cawe-cawe" Pj Kepala Daerah

Nasional
Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Nasional
Yusril Harap 'Amicus Curiae' Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Yusril Harap "Amicus Curiae" Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Nasional
Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Nasional
IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

Nasional
Yusril Sebut 'Amicus Curiae' Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Yusril Sebut "Amicus Curiae" Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Nasional
ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com