Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rahmat Sahid
Periset dan Penulis Buku

Direktur Politik Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra). Mahasiswa Magister Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana, Jakarta. Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno

Menangkap Pesan Kebhinekaan di Baliho Puan Maharani yang Jadi Polemik

Kompas.com - 18/08/2021, 06:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BALIHO politik yang menampilkan wajah Ketua DPR Puan Maharani dengan tagline “Kepak Sayap Kebhinekaan” belakangan ini begitu hangat menjadi opini publik.

Beberapa pihak menjadikannya sebagai polemik, dengan balutan politik yang di dalamnya terdapat kritik dan intrik. Argumentasinya, sosialisasi membangun citra diri di masa pandemi bukan tindakan yang simpatik.

Namun, tidak sedikit pula yang memberikan pembelaan bahwa hal itu adalah suatu kewajaran dalam politik. Terlebih lagi, pesan dalam baliho politik itu mengandung ajakan yang mendidik, di tengah situasi dan fenomena kebhinekaan bangsa ini yang acap kali tercabik.

Baca juga: Gelitik Iklan Politik dan Baliho Puan Maharani

Di luar polemik tersebut, hal yang menarik untuk dikaji adalah soal bagaimana kita harus memaknai kebhinekaan, yang dalam keseharian bermasyarakat dan bernegara interaksinya tak bisa terhindarkan.

Transformasi kebhinekaan

Kebhinekaan adalah warisan etnisitas yang telah melahirkan nilai-nilai luhur dari leluhur masyarakat Nusantara, yang kini bernama Indonesia.

Ia menjadi kata dan fakta yang oleh para Founding Fathers ditransformasikan ke dalam identitas nasional bangsa lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.

Warisan kebhinekaan menjadi salah satu faktor yang dari sisi etnisitas sangat sulit untuk terakomodir semua kepentingannya. Namun, itu bukan alasan untuk membuat etnisitas tidak bisa diikat dalam balutan nasionalisme.

Maka, sudah sangat tepat manakala dalam penetapan bentuk, dasar, serta konstitusi Indonesia sebagai piranti Negara tidak dibuka ruang untuk menggunakan pendekatan mayoritas-minoritas ataupun inferior-superior.

Itu adalah konsekuensi logis. Sesuai sosio historisnya, Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 memilih gagasan bernegaranya adalah nation-state (negara-bangsa).

Dengan gagasan negara-bangsa, perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dirajut dalam bingkai nasionalisme, dengan piranti permusyawaratan atau permufakatan sebagaimana tercantum dalam sila keempat Pancasila.

Permusyawaratan atau permufakatan merupakan instrumen solusi dalam mengelola kebhinekaan. Suatu prinsip dasar yang oleh Ir Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila disebut mufakat atau demokrasi dengan argumen.

Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara, semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.

Dengan konsep itu, di dalam jiwa jutaan warga negara Indonesia dengan kebhinekaan-nya, terpatri kesatuan rasa memiliki, cinta, kesediaan mengabdi, dan kesiapan berkorban demi bangsa, sekalipun mereka tidak mengenal satu sama lain. 

Ini sejalan dengan konsep dari Benedict Anderson (1991) dalam karyanya Imagined Communities Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. 

Bangsa adalah imagined community (komunitas imajiner), yaitu komunitas politik yang mencakup jutaan orang yang di dalamnya tidak pernah saling mengenal dan melihat tetapi punya kesatuan rasa serta kemauan untuk membayar pajak, mengabdi, bahkan mengorbankan nyawanya demi bangsa.

Fitrah kebangsaan

Semangat kebhinekaan memang selayaknya terus hidup dalam setiap jiwa anak bangsa, karena rajutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bertumpu di atasnya.

Ia tidak boleh usang dengan alasan perkembangan teknologi dan informasi. Tak boleh lekang juga dengan pengaruh revolusi industri 4.0 yang membutuhkan transformasi fundamental di segala lini pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Upaya untuk mampu bersaing dengan dunia global—dengan menyiapkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) serta kecanggihan piranti teknologi—tidak boleh menjadi alasan untuk mengesampingkan kebhinekaan.

Semua upaya itu tetap harus dalam satu tarikan napas. Kebhinekaan merupakan oksigen yang menjadikan Indonesia tetap kokoh hingga kini dalam bingkai Negara kesatuan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik hasil sensus penduduk 2010, ada 1.331 kelompok suku di Indonesia. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun mencatat setidaknya ada 652 bahasa daerah di Nusantara. 

Kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan atau sunatullah, ketetapan alam yang menjadi kehendak Tuhan. Itulah prinsip kebangsaan yang oleh Bung Karno didalilkan dalam pidato di Sidang Umum ke-XV PBB pada 30 September 1960.

 

Dalam pidato yang diberi judul To Build The World A New itu, Bung Karno menyitir Al Quran surat Al-Hujarat ayat ke-13.

Terjemahan ayat itu, “Hai manusia, sesungguhnya Kami (Allah SWT) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Dengan demikian, sesungguhnya upaya-upaya untuk menggelorakan kebhinekaan dengan menempatkannya sebagai hal yang selalu relevan dalam konteks bernegara merupakan langkah tepat dalam menjaga fitrah kebangsaan.

Kebhinekaan kini

Meskipun secara umum kita tetap mensyukuri bahwa keberagaman bangsa ini di usianya yang sudah memasuki 76 tahun tetap menjunjung nilai-nilai persatuan, ada celah yang lambat laun rawan melebar dan mudah disulut. Ada situasi bagai api dalam sekam.

Sebagai gambaran, dalam konteks bermasyarakat dan bernegara, buah dari kebhinekaan adalah hidup toleran, yaitu berdampingan secara damai dan saling menghargai dalam keragaman.

Baca juga: Kepak Sayap Puan Ditunggu di 38 Derajat Lintang Utara

 

Namun, temuan riset menunjukkan ada gejala yang cukup mengkhawatirkan, yang rawan mencadi ancaman bagi kebhinekaan bangsa Indonesia dan kehidupan masyarakat yang toleran.

Misalnya, temuan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dirilis pada Maret 2021 lalu menunjukkan bahwa 30,16 persen mahasiswa Indonesia masuk kategori rendah sikap toleransinya.

Rinciannya, mahasiswa yang sikap toleransi beragama rendah sebanyak 24,89 persen dan yang sangat rendah sikap toleransinya sebanyak 5,27 persen.

Fakta itu cukup mencengangkan karena terjadi di kalangan mahasiswa, yang merupakan pemegang masa depan bangsa, yang padanya melekat label agent of change.

Dalam konteks sekarang, mahasiswa seharusnya adalah kaum terpelajar dan terdidik yang paling adaptif mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0 dalam bidang teknologi dan informasi.

Padahal, Hellen Keller—poling Gallup menyebutnya sebagai salah satu dari 18 tokoh paling dikagumi dunia—dalam buku memoar The Story of My Life  menulis, “Hasil tertinggi dari pendidikan adalah toleransi.”

Karenanya, hasil riset PPIM UIN Jakarta adalah hal yang cukup merisaukan, ketika terdapat jumlah signifikan mahasiswa rawan mengikuti perkembangan zaman tanpa dituntun ideologi, sehingga mengabaikan sikap toleran, dan menjadikan kebhinekaan sekadar slogan.

Pesan kebhinekaan

Merujuk pada konsepsi mengenai kebhinekaan tersebut di atas dengan berbagai tantangan dan celah kerawanan yang bisa menjadi ancaman, sangat relevan manakala dalam konteks kekinian seorang aktor dan komunikator politik seperti Ketua DPR Puan Maharani menjadikan kebhinekaan sebagai narasi utama dalam pesan komunikasi politiknya.

Baliho politik bergambar Puan Maharani dengan tagline “Kepak Sayap Kebhinekaan” yang dipasang hampir merata di seluruh Indonesia oleh kader dan pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) perlu disikapi secara positif, agar masalah kebhinekaan menjadi diskursus di ruang publik (public sphere).

Dengan menjadikan ruang publik sebagai diskursus politik yang mendidik, ada ruang bagi khalayak untuk memberikan umpan balik soal pesan kebhinekaan agar tidak berhenti sebatas slogan.

Bukankah juga terlalu sempit jika menjadikan pesan kebhinekaan sebagai polemik electoral politics?

Maka, tampaknya akan jauh lebih konstruktif dan substantif menjadikan baliho “Kepak Sayap Kebhinekaan” yang sudah masuk public sphere untuk memaknai dan meresapi kembali implementasi nilai dasar kebhinekaan dalam kehidupan bermsyarakat dan kebijakan-kebijakan penyelenggara pemerintahan.

Pemaknaan “Kepak Sayap Kebhinekaan” sebagaimana disampaikan Ketua DPP PDI-P Bambang Wuryanto—seperti dikutip Kompas.com edisi Sabtu (7/8/2021)—yang menggunakan analogi Burung Garuda dengan kepak sayap berirama serta bekerja sama sayap kiri dan kanan ketika terbang, adalah ajakan dan upaya mengampanyekan persatuan.

Baca juga: Makna Kepak Sayap Kebhinekaan di Baliho Bergambar Puan Menurut Politikus PDI-P

 

Maka, umpan balik (feedback) dari pesan komunikasi itu harusnya diarahkan untuk menggugat praktik politik dan pengelolaan pemerintahan yang intoleran dan mengabaikan prinsip kebhinekaan.

Di sisi lain, pesan kebhinekaan yang menjadi diskursus substantif di ruang publik juga diharapkan akan semakin menumbuhkembangkan kesadaran betapa berharganya persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman masyarakat di Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com