Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Mural Tuai Polemik, Mengapa Dihapus jika Jokowi Tidak Merasa Terganggu?

Kompas.com - 16/08/2021, 12:48 WIB
Wahyuni Sahara

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mural yang diduga gambar wajah Presiden Joko Widodo alias Jokowi bertuliskan "404 Not Found" sempat ramai dibahas oleh warganet di Twitter.

Pembahasan tentang mural itu pun menjadi trending topic di Twitter dengan tagar #Jokowi404NotFound pada 14 Agustus 2021.

Mural yang terletak di daerah Batu Ceper, Kota Tangerang, itu pun kemudian menjadi polemik.

Permasalahan bermula saat aparat kepolisian dan TNI menghapus mural tersebut dengan menimpanya menggunakan cat warna hitam karena dinilai melecehkan presiden.

"Tetap diselidiki itu perbuatan siapa. Karena bagaimanapun itu kan lambang negara, harus dihormati," kata Kasubbag Humas Polres Tangerang Kota, Kompol Abdul Rachim, saat dihubungi wartawan, Jumat (13/8/2021).

Baca juga: Polisi Periksa Dua Saksi Terkait Mural Diduga Wajah Jokowi di Batujaya Tangerang

Polisi juga kemudian mencari pelaku pembuatan mural tersebut.

Hingga kini, dua orang telah diperiksa untuk dimintai keterangannya soal pembuatan mural tersebut.

Mengapa dihapus jika Presiden Jokowi tidak merasa terganggu?

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mempertanyakan mengapa pemerintah dan aparat harus menghapus mural tersebut jika Presiden Jokowi sendiri tidak merasa tidak terganggu dengan keberadaan mural itu.

"Kalau presiden kemudian enggak merasa itu mengganggu, lalu kenapa kemudian dihapus? Kan itu pertanyaannya," ujar Ubedilah seperti dikutip dari Kompas TV, Senin (16/8/2021).

Ubedilah juga mempertanyakan mengapa pelaku pembuatan mural harus dicari oleh aparat kepolisian.

"Lalu kenapa juga harus dikejar mereka yang membuat?" kata Ubedilah.

Baca juga: Mural Pemprov DKI Jakarta di Cilandak Timur Dirusak Oknum Tak Bertanggung Jawab

Ubedillah menilai ada kejanggalan kenapa pemerintah pusat harus turun tangan menangani permasalah mural tersebut. Pahadal seharusnya hal itu ditangani oleh pemerintah daerah setempat.

"Perda itu dan dari pemerintah daerah ya. Pemerintah daerah saya, sampai saat ini tidak mendengar suaranya untuk bersikap dalam soal mural. Itu kan aneh, tiba-tiba langsung ditangani oleh pusat. Berarti itu kan ada sesuatu," katanya.

Ini artinya pemerintah anti-kritik. Hal ini berbanding terbalik seperti yang diucap oleh Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi terbuka dengan kritik.

"Jadi dari sisi itu, tesis Mas Faldo batal bahwa ternyata bapak presiden tidak welcome dengan kritik," katanya.

Menurut Ubedillah, jika Indonesia memang benar-benar menganut sistem demokrasi, seharusnya pemerintah membuka ruang dialog dengan masyarakat untuk mengupas pesan dari mural tersebut.

Apa yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh masyarakat dari mural tersebut. Sebab mural adalah salah satu media dari masyarakat untuk berekspresi, untuk menyampaikan pendapat atau kritikan.

"Ayo dijadikan perdebatan dari isi mural itu, apa makudnya? Kalau isi dari mural itu kemudian jadi persoalan. Apa yang disoalkan kalau itu yang terjadi itu akan bagus. Masyarakat punya hak mengkritik pemerintah dengan pesan-pesan simbolik, pesan simbolik itu kita kupas isinya apa, apa motifnya itu akan lebih sehat dari sisi demokrasinya," ujarnya.

"Tapi kalau itu langsung dihapus, tanpa kepala daerahnya bersuara, juga langsung ditangani pusat itu berarti kan ada persoalan," lanjut Ubedilah.

Baca juga: Sederet Kisah Kepala Daerah di Akhir Masa Jabatan, Ada yang Meninggal dan Diberi Hadiah Mural

Senada dengan Arsitek dan Ahli Tata Kota Bambang Eryudhawan. Menurut Yudha pemerintah seharusnya tidak bersikap represif. Sebaliknya, pemerintah harus memaknai mural sebagai seni dan media seseorang dalam mengemukakan pendapat.

Terlebih, saat ini banyak sekali komunitas kesenian mural, grafiti dan seni jalanan yang terus berkembang.

"Jadi pemerintah juga mesti menyadari bahwa selain sebagai kesenian, mural sebagaimana perkembangannya juga turut menjadi media untuk berpendapat. Hanya, dulu mural-mural itu dilarang, tapi masa pemerintah saat ini mau seperti itu," ujar Yudha saat dihubungi Kompas.com, Minggu (15/08/2021).

Keberadaan mural dan seni jalanan ini, kata Yudha, awalnya dianggap sebagai urban kill dan hanya mengotori pemandangan perkotaan.

Namun, seiring perkembangan zaman, kota-kota di dunia justru banyak yang mengintegrasikan mural tersebut dengan desain arsitektur.

"Jadi mural ini diintegrasikan untuk memperindah penataan kota menjadi lebih baik, apalagi mural dibuat pada fasad atau bangunan-bangunan kosong tak berpenghuni, dan membuatnya lebih hidup," kata Yudha.

Yudha menyadari bahwa setiap pemerintah kota memiliki aturan terhadap penataan ruang publik dihias dengan mural. Tetapi perlu diingat juga bahwa mural telah melembaga sebagai simbol dari kebebasan berpendapat seseorang.

"Jadi keberadaan mural itu memang tergantung aturan pemerintah kota, tetapi jika mural Presiden Jokowi dianggap menghina, pertanyaan berikutnya apakah tidak ada lagi kebebasan berekspresi di negeri ini?," katanya.

Baca juga: Cerita di Balik Mural “Rudy Cukur Gibran” di Solo

Dinilai melawan hukum

Faldo Maldini menilai pembuatan mural tersebut sewenang-wenang, terlebih dibuat di fasilitas publik.

"Jadi ini kan sewenang-wenang. Apalagi itu fasilitas publik yang dihajar. Memperbaikinya pake uang rakyat pula," kata Faldo.

Bahkan menurut Faldo, pembuatan mural harus mendapat izin terlebih dahulu. Jika tidak, bisa berujung pada tindakan melawan hukum.

"Yang namanya mural, entah apapun isinya. Yang gambarnya memuji tokoh politik tertentu, yang mengkritisi pemerintah, yang memuji pemerintah kalau tidak ada izinnya bisa berujung pada tindakan melawan hukum mencederai hak orang lain. Itu ada di KUHP," katanya.

Jika masyarakat ingin mengkritik, kata Faldo, pemerintah sangat terbuka menyambut masyarakat.

"Kalau mau mengkritik, ruangannya terbuka kok. Ruang untuk mengkritik itu terbuka di republik ini. Kami juga selalu mengupayakan untuk buka ruang diskusi," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dukung Prabowo-Gibran, PKB Pastikan Tak Bakal Rusak Soliditas Koalisi Indonesia Maju

Dukung Prabowo-Gibran, PKB Pastikan Tak Bakal Rusak Soliditas Koalisi Indonesia Maju

Nasional
Senada dengan Nasdem, PKB Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Kian Sulit Diwujudkan

Senada dengan Nasdem, PKB Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Kian Sulit Diwujudkan

Nasional
Usai Dukung Prabowo-Gibran, Nasdem dan PKB Bilang Timnas Amin ‘Bubar’

Usai Dukung Prabowo-Gibran, Nasdem dan PKB Bilang Timnas Amin ‘Bubar’

Nasional
MK Sidangkan Sengketa Pileg 2024 Mulai 29 April, Sehari Puluhan Perkara

MK Sidangkan Sengketa Pileg 2024 Mulai 29 April, Sehari Puluhan Perkara

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PKS: Pak Surya Paling Cantik Bermain Politik

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PKS: Pak Surya Paling Cantik Bermain Politik

Nasional
Penghormatan Terakhir PDI-P untuk Tumbu Saraswati...

Penghormatan Terakhir PDI-P untuk Tumbu Saraswati...

Nasional
Idrus Sebut Ada Posisi Strategis yang Ditawarkan jika Jokowi Masuk Golkar; Ketua Umum hingga Ketua Dewan Pembina

Idrus Sebut Ada Posisi Strategis yang Ditawarkan jika Jokowi Masuk Golkar; Ketua Umum hingga Ketua Dewan Pembina

Nasional
CSIS: Jumlah Caleg Perempuan Terpilih di DPR Naik, tapi Sebagian Terkait Dinasti Politik

CSIS: Jumlah Caleg Perempuan Terpilih di DPR Naik, tapi Sebagian Terkait Dinasti Politik

Nasional
Cak Imin Titip 8 Agenda Perubahan ke Prabowo, Eks Sekjen PKB: Belum 'Move On'

Cak Imin Titip 8 Agenda Perubahan ke Prabowo, Eks Sekjen PKB: Belum "Move On"

Nasional
CSIS: Caleg Perempuan Terpilih di Pemilu 2024 Terbanyak Sepanjang Sejarah sejak Reformasi

CSIS: Caleg Perempuan Terpilih di Pemilu 2024 Terbanyak Sepanjang Sejarah sejak Reformasi

Nasional
Prabowo-Gibran Disarankan Terima Masukkan Masyarakat saat Memilih Menteri, daripada 'Stabilo KPK'

Prabowo-Gibran Disarankan Terima Masukkan Masyarakat saat Memilih Menteri, daripada "Stabilo KPK"

Nasional
CSIS: Caleg Terpilih yang Terindikasi Dinasti Politik Terbanyak dari Nasdem, Disusul PDI-P

CSIS: Caleg Terpilih yang Terindikasi Dinasti Politik Terbanyak dari Nasdem, Disusul PDI-P

Nasional
MK Registrasi 297 Sengketa Pileg 2024

MK Registrasi 297 Sengketa Pileg 2024

Nasional
CSIS: 138 dari 580 Caleg Terpilih di DPR Terasosiasi Dinasti Politik

CSIS: 138 dari 580 Caleg Terpilih di DPR Terasosiasi Dinasti Politik

Nasional
Idrus Marham Dengar Kabar Golkar Dapat 5 Kursi Menteri dari Prabowo

Idrus Marham Dengar Kabar Golkar Dapat 5 Kursi Menteri dari Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com