Bayangkan, pejalanan udara dari Jakarta menuju Langgur – ibukota Kabupaten Maluku Tenggara di Provinsi Maluku, butuh dua kali mengubah jarum jam di arloji.
Dengan transit di Ambon, perjalanan dilanjutkan ke dengan pesawat baling-baling ke Langgur.
Jika distribusi vaksin harus sampai ke desa atau pulau terpencil, maka masih puluhan jam perjalanan lagi dibutuhkan untuk memastikan vaksin itu tersalurkan dari ibukota kabupaten.
Belum lagi jika bicara lokasi terpencil di Papua, pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki 256 pulau atau Krayan di perbatasan Kalimantan Utara dengan Malaysia.
Tingkat kesulitan pelaksanan vaksinasi di Indonesia tergolong tersulit dibandingkan negara-negara kontinen atau negara dengan berpenduduk tidak sebanyak Indonesia.
Upaya bantuan personel TNI – AL yang mengadakan vaksinasi untuk warga yang tinggal di kepulauan di atas kapal perang, menjadi optimisme upaya target vaksinasi nasional bisa tercapai (Kompas.com, 30/06/2021).
Sebuah kegagalan program – termasuk rencana vaksinasi berbayar – lebih dikarenakan ketidaksiapan strategi komunikasi packaging program.
Andai sebuah program sudah memiliki cetak biru strategi komunikasi yang tepat, tentu akan disambut dengan antusias dengan publik.
Di era Internet of Thing (IoT) sekarang ini, saat lesakan informasi begitu deras dan kadang tanpa disaring oleh publik, semua informasi kerap dianggap sebagai kebenaran. Media sosial menjadi penyebab “noise” sehingga tujuan program vaksinasi menjadi kabur.
Kasus kematian Nuryaman (60) penderita Covid di Tegal, Jawa Tengah, yang termakan hasutan Dokter Lois tentang efek pemakaian kombinasi obat dalam penanganan covid serta begitu mudahnya pihak rumah sakit menstigma pasien sebagai pengidap Covid, adalah bukti yang tidak terbantahkan. Nuryaman menolak divaksin karena isu adanya kandungan haram di dalam vaksin. (Kompas.com, 24/07/2021).
Baca juga: Kisah Helmi, Hoaks Covid-19 yang Merenggut Nyawa Papaku...
Begitu derasnya arus informasi yang tersebar di dunia maya, membuat publik menjadi rancu. Ketika ada mantan menteri menyebut Ivermectin sangat manjur untuk pengobatan bagi penderita Covid, maka pernyataan tersebut dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Publik atau komunikan tidak lagi melihat kompetensi, kapabilitas, dan latar belakang komunikator, Si Pengirim Pesan.
Padahal, Ivermectin adalah obat cacing dan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) sangat tidak dianjurkan untuk pengobatan Covid.
Penyampaian pesan kepada publik juga harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh keagamaan, tokoh publik atau influencer agar pesan yang diterima publik terserap dengan baik dan benar.
Harus diakui, kelemahan komunikasi birokrasi yang paling mencolok hingga saat ini adalah sangat bersifat one way communication (komunikasi satu arah).