SITUASI pandemi Covid-19 saat ini bisa diibaratkan seperti suasana di palagan pertempuran. Tembakan rentetan peluru yang bernama “virus corona SARS-Cov-2” terus berdesingan di sekitar kita.
Jika kita lengah dan tidak siaga, kita akan tertembak dan terluka. Andai luka bisa disembuhkan, kita akan selamat.
Akan tetapi nyawa kita akan melayang jika luka kita sudah sulit disembuhkan. Kita benar-benar menghadapi perang. Bukan lagi simulasi apalagi berfantasi.
Kabar duka masih menyesakkan kita, angka kematian karena Covid per harinya masih di angka 1300-an.
Pada 25 Juli 2021 tercatat 1.266 tutup usia. Jumlah kumulatif penderita Covid yang tidak terselamatkan sejak pandemi ini muncul di bulan Maret 2020 hingga hari ini (25 Juli 2021) sudah mencapai 83.279 jiwa
Angka kasus harian positif Covid masih tergolong tinggi yakni di kisaran 34 ribu hingga 54 ribu, dan masih bersifat fluktiatif namun ada secercah harapan lain. Angka kesembuhan dalam beberapa hari terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebut ada 37.640 pasien sembuh (25/07/2021), sementara sehari sebelumnya di angka 39.767 (24/07/2021) dan 38.988 (23/07/2021).
Secara total situasi Covid di tanah air hingga 25 Juli 2021, jumlah yang terpapar mencapai 3.166.505 jiwa dan angka kesembuhan mencakup 2.509.318 jiwa.
Tidak ada yang bisa memprediksi sampai kapan pandemi ini akan berakhir. Para ahli kesehatan sementara ini terus berkutat untuk meninimalisir penyebaran virus, menyembuhkan penderita serta memberi langkah preventif berupa vaksinasi.
Di tengah pro dan kontra soal vaksinasi di masyarakat, vaksinasi adalah keniscayaan dan ikhtiar untuk kesembuhan.
Menurut data Satgas Covid-19, dari target sasaran vaksinasi nasional 208.265.720, hingga 24 Juli 2021 baru menyasar 44.107.926 untuk penerima vaksin dosis pertama serta 17.475.996 penerima vaksin dosis ke dua.
Antara penerima dosis pertama dan kedua, ada gap sebesar 27 juta. Jika capaian terbesar di cakupan penerima vaksin pertama dengan target sasaran nasional, ada selisih 164 juta jiwa yang harus segera mendapat suntikan vaksin dosis pertama.
Kementerian Kesehatan mencatat, sudah tersedia 130 juta dosis vaksin, 75 juta diantaranya siap disuntikkan (Kompas.com, 23 Juli 2021).
Presiden Jokowi sendiri menargetkan 2 juta vaksin disuntik setiap harinya agar cepat mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity.
Dengan demografi dan topografi wilayah tanah air yang demikian beragam, target tersebut bisa dicapai dengan usaha yang tidak mudah.
Bayangkan, pejalanan udara dari Jakarta menuju Langgur – ibukota Kabupaten Maluku Tenggara di Provinsi Maluku, butuh dua kali mengubah jarum jam di arloji.
Dengan transit di Ambon, perjalanan dilanjutkan ke dengan pesawat baling-baling ke Langgur.
Jika distribusi vaksin harus sampai ke desa atau pulau terpencil, maka masih puluhan jam perjalanan lagi dibutuhkan untuk memastikan vaksin itu tersalurkan dari ibukota kabupaten.
Belum lagi jika bicara lokasi terpencil di Papua, pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki 256 pulau atau Krayan di perbatasan Kalimantan Utara dengan Malaysia.
Tingkat kesulitan pelaksanan vaksinasi di Indonesia tergolong tersulit dibandingkan negara-negara kontinen atau negara dengan berpenduduk tidak sebanyak Indonesia.
Upaya bantuan personel TNI – AL yang mengadakan vaksinasi untuk warga yang tinggal di kepulauan di atas kapal perang, menjadi optimisme upaya target vaksinasi nasional bisa tercapai (Kompas.com, 30/06/2021).
Sebuah kegagalan program – termasuk rencana vaksinasi berbayar – lebih dikarenakan ketidaksiapan strategi komunikasi packaging program.
Andai sebuah program sudah memiliki cetak biru strategi komunikasi yang tepat, tentu akan disambut dengan antusias dengan publik.
Di era Internet of Thing (IoT) sekarang ini, saat lesakan informasi begitu deras dan kadang tanpa disaring oleh publik, semua informasi kerap dianggap sebagai kebenaran. Media sosial menjadi penyebab “noise” sehingga tujuan program vaksinasi menjadi kabur.
Kasus kematian Nuryaman (60) penderita Covid di Tegal, Jawa Tengah, yang termakan hasutan Dokter Lois tentang efek pemakaian kombinasi obat dalam penanganan covid serta begitu mudahnya pihak rumah sakit menstigma pasien sebagai pengidap Covid, adalah bukti yang tidak terbantahkan. Nuryaman menolak divaksin karena isu adanya kandungan haram di dalam vaksin. (Kompas.com, 24/07/2021).
Baca juga: Kisah Helmi, Hoaks Covid-19 yang Merenggut Nyawa Papaku...
Begitu derasnya arus informasi yang tersebar di dunia maya, membuat publik menjadi rancu. Ketika ada mantan menteri menyebut Ivermectin sangat manjur untuk pengobatan bagi penderita Covid, maka pernyataan tersebut dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Publik atau komunikan tidak lagi melihat kompetensi, kapabilitas, dan latar belakang komunikator, Si Pengirim Pesan.
Padahal, Ivermectin adalah obat cacing dan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) sangat tidak dianjurkan untuk pengobatan Covid.
Penyampaian pesan kepada publik juga harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh keagamaan, tokoh publik atau influencer agar pesan yang diterima publik terserap dengan baik dan benar.
Harus diakui, kelemahan komunikasi birokrasi yang paling mencolok hingga saat ini adalah sangat bersifat one way communication (komunikasi satu arah).
Komunikasi birokrasi tidak mengedepankan diksi-diksi yang menarik dan kekinian, penuh simbol dan jargon yang multitafsir.
Aksi-aksi perampasan jenazah penderita Covid oleh kerabat dan warga di berbagai daerah masih kerap terjadi.
Selain tidak mengerti akan bahaya penularan virus Corona, warga tetap ngeyel karena selama ini tidak mendapat pesan kesehatan yang benar dari pemerintah dan lebih didominasi oleh pengetahuan “liar” yang didapat dari media sosial yang tidak terverifikasi kebenarannya.
Pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj yang meyesalkan pemerintah tidak melibatkan nadhliyin sejak awal merebaknya pandemi (Kompas.com, 23/07/2021) menjadi indikasi kelemahan strategi komunikasi birokrasi.
Baca juga: Ketum PBNU Kritik Penanganan Pandemi yang Tak Libatkan Masyarakat
NU baru digaet pemerintah saat tengah gencar menyukseskan program vaksinasi di belakang hari. Padahal, jaringan kyai berpengaruh yang terafiliasi dengan NU sangat besar dan luas.
Di masyarakat rural, masih tertancap kuat doktrin, ”apa yang dikatakan kyai adalah kebenaran mutlak yang tidak terbantahkan”.
Beruntung kita masih punya Ustaz Das-ad Latid, Tuanku Guru Bajang, Gus Miftah atau kyai muda Zubaedi Raqib yang begitu logis dan bernas mengisi ceramah dan tauziahnya soal Covid. Mereka lebih diterima di akar rumput ketimbang penjelasan juru bicara resmi Satgas Covid-19.
Target dua juta vaksinasi dalam sehari seperti yang dicanangkan Jokowi harus kita dukung penuh karena terbukti program vaksinasi sangat berkorelasi dengan kekebalan imun tubuh sehingga mengurangi potensi kematian.
Kelemahan strategi komunikasi vaksinasi harus dibenahi dengan terus memperhatikan dinamika yang terjadi masyrakat. Sifat komunikasi itu sendiri kenyal, tidak rigid dan kaku.
Mungkin kisah dalam film Pacth Adam (1998) yang dibintangi Robbin Williams dan Monica Potter serta dibesut sutradara Tom Shadyac patut ditonton (ulang) oleh para tenaga kesehatan yang terlibat dalam program vaksinasi dan pengambil kebijakan kesehatan di negeri ini.
Betapa penggunaan humor dan memperlakukan pasien sebagai “jiwa” adalah kunci sukses dari sebuah tindakan kesehatan.
"Tugas kita adalah meningkatkan kualitas hidup pasien, tidak hanya menunda kematian. Anda menangani penyakit, bisa menang bisa kalah. Anda menangani orang, saya jamin Anda akan menang, tidak peduli apa pun hasilnya."
Kutipan-kutipan tersebut dilantangkan Robin Williams saat memerankan Dokter Patch Adams dalam film Patch Adam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.