JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, menduga ada upaya menutupi peran "king maker" dalam kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra.
Sebab, hingga kini kejaksaan belum mengajukan kasasi terhadap putusan banding yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari itu. Dalam putusan banding, hukuman pinangki dipotong dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
"Jaksa jelas sangat enggan untuk mengajukan kasasi dan bahkan tidak mau kasasi. Saya menduga ini ada upaya untuk menutupi peran 'king maker' dalam kasus terkait Pinangki. Salah satu kunci 'king maker' itu ada di Pinangki," kata Boyamin, saat dihubungi, Senin (5/7/2021).
Baca juga: MAKI Sebut King Maker di Kasus Djoko Tjandra Penegak Hukum Jabatan Tinggi
Dugaan atas sosok "king maker" muncul saat membacakan vonis terhadap Jaksa Pinangki. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengakui keberadaan sosok King Maker tersebut.
Menurut majelis hakim, keberadaan "king maker" terbukti berdasarkan percakapan di aplikasi WhatsApp yang dibenarkan oleh Pinangki, saksi Anita Kolopaking, serta saksi Rahmat.
Sosok "king maker" disebut-sebut membantu Pinangki dan seorang saksi bernama Rahmat menemui Djoko Tjandra untuk membahas pengurusan fatwa di MA.
Adapun, salinan putusan banding telah diterima Kejari Jakarta Pusat pada 21 Juni 2021.
Dengan demikian, jaksa memiliki waktu 14 hari untuk memutuskan pengajuan kasasi setelah salinan putusan banding diterima.
Semestinya, hari ini merupakan batas akhir pengajuan kasasi. Namun, Kepala Kejari Jakarta Pusat Riono Budisantoso belum merespons pertanyaan wartawan mengenai rencana pengajuan kasasi.
Menurut Boyamin, jaksa harus mengajukan kasasi untuk menepis anggapan adanya upaya menutupi "king maker".
Boyamin menambahkan, hal lain yang membuat jaksa perlu mengajukan kasasi yakni perbandingan hukuman Pinangki dengan perantara suap Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra sebagai pemberi suap.
Andi divonis 6 tahun dan Djoko Tjandra dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan. Sementara, Pinangki hanya dihukum 4 tahun berdasarkan putusan banding.
Baca juga: Diskon Vonis Jaksa Pinangki Dinilai Kemunduran dalam Pemberantasan Korupsi
Boyamin menjelaskan, dalam konteks hukum di Indonesia, penerima suap semestinya mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan pemberi suap dan perantara.
"Ini mestinya jadi alasan Kejaksaan mengajukan kasasi. Karena tidak mungkin jadi terbalik ketika vonis penjaranya terjadi perbedaan dan yang menerima suap lebih rendah," ucap Boyamin.
"Satu-satunya cara ya, dengan mengajukan kasasi. Dengan begitu di Mahkamah Agung menjadi imbang dari sisi keadilan," imbuhnya.