SDGs dan anak muda yang progresif
Ada sebuah adagium yang menarik dari Esther Dyson, seorang investor dan penulis. Dia mengatakan, "Dalam politik, kerangka waktu yang berlaku adalah masa jabatan, dalam fashion, itu musim. Untuk perusahaan itu adalah paruh waktu empat bulan. Dalam internet itu menit, dan dalam saham itu milidetik. Jika mengacu pada kompleksnya permasalahan saat ini, manakah kerangka waktu yang tepat untuk mempersiapkan masa depan?"
Jawabannya tentu saja bukan ke semuanya. Masalah global terlampau kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan kerangka waktu yang pendek.
Seperti contoh adalah perubahan iklim. Isu ini sudah menjadi arus utama dalam media dan banyak disuarakan di berbagai kesempatan. Kita mengenal Greta Thunberg, sosok perempuan inspiratif yang menjadi simbol gerakan peduli perubahan iklim. Dia menyadari bahwa akan ada ketidakadilan di generasi selanjutnya karena mereka harus berjibaku dengan iklim yang mengkhawatirkan.
Penyelesaian SDGs membutuhkan pemikiran yang melampaui zamannya karena masalah yang dihadapi bersifat sistemik, seperti pendidikan. Di Indonesia, kurang dari 15 persen masyarakat berusia 20-39 tahun yang menikmati pendidikan tinggi.
Akar masalahnya pun bersifat sistemik melibatkan aspek ekonomi, sosiologis, budaya, bahkan politik. Kebanyakan dari anak muda kurang memiliki kesempatan untuk fokus meraih masa depannya karena harus berjibaku dengan masalah dasar, yakni ekonomi, sehingga mereka menjadi lebih realistis dalam memandang masa depan.
Ini baru dari isu pendidikan, belum lagi bicara kemiskinan, kesehatan, dan isu lainnya. Melihat masalah pendidikan saja, dalam waktu lima tahun, belum tentu selesai, sementara solusi yang dihadirkan masih belum mampu menyelesaikan akar masalahnya. Dibutuhkan solusi holistik, berorientasi ke depan, tetapi juga bisa diimplementasikan dalam langkah nyata.
Oleh karena itu, penyelesaian isu SDGs harus melibatkan pemuda. Mengapa?
Karena selain mereka generasi penerus, pemuda memiliki pemikiran cenderung yang out of the box, kreatif dan inovatif. Indonesia memang membutuhkan sebanyak-banyaknya anak muda yang progresif dan memiliki pemikiran melampaui zamannya.
Di atas itu semua, pemikirannya pun bisa dituangkan dalam bentuk langkah konkret dan praktis. Sifat praktis inilah yang menjadi ciri khas anak muda sekarang. Semangat dan idealisme mereka tinggi dan tentunya untuk mencapai tujuan dalam SDGs, kedua hal tersebut wajib dipelihara.
Faktanya pula, banyak anak muda saat ini yang sudah bergerak mengawal tujuan SDGs agar Indonesia dan memiliki gerakan serta terobosan yang inovatif. Mereka telah mengambil peran di masyarakat.